Jumat, 23 Desember 2016

Sebuah Pertanyaan


Bisakah iman dibebaskan dari agama?

Ini sebuah pertanyaan yang saya dapatkan setelah membaca buku autobiografi spiritual Karen Armstrong yang berjudul Menerobos Kegelapan.

Saya belum sepenuhnya menyelesaikan buku ini. Saya baru membaca 242 dari 371 halaman. Namun pertanyaan ini begitu mengusik. Pertanyan yang sebenarnya sudah merongrong di dalam batin saya beberapa tahun belakangan.

Buku ini berlatar belakang agama Katolik yang kuat, dengan tokoh Karen Armstron sebagai mantan biarawati. Walaupun berlatar belakang agama katolik tetapi saya rasa iman yang dimaksud masih cukup relevan untuk disandingkan dengan pemahaman iman dari agama Islam. Mengingat Yahudi, Kristen, dan Islam merupakan agama/kepercayaan monotheis yang memiliki sejarah yang saling berkaitan. Setidaknya saya harus menamatkan buku  Sejarah Tuhan untuk memahami lebih jelas dimana letak keterkaitan diantara ketiganya.

Apakah arti iman sebenarnya?
Apakah seseorang yang dikatakan beriman harus memiliki agama?
Apakah untuk mempercayai adanya Tuhan, seseorang harus menganut sebuah agama?

Saya belum meninjau artian iman dari sudut pandang ketiga agama tersebut. Alasannya karena saya belum menemukan sumber yang tepat untuk menjelaskan maksud dari iman itu sendiri

Meninjau arti iman dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), iman dapat diartikan sebagai kepercayaan (yang berkenaan dengan agama); keyakinan dan kepercayaan kepada Allah, nabi, kitab, dsb. Atau bisa juga diiartikan sebagai ketetapan hati; keteguhan batin; keseimbangan batin.

Jika kita mengartikan iman sebagai Kepercayaan (yang berkenaan dengan agama) maka pupus sudah pertannyaan "Apakah seseorang yang dikatakan beriman harus memiliki agama?", karena dalam pengertian iman tersebut, ada hubungan kuat diantara iman dan agama.

Namun jika kita meninjau artian iman sebagai ketetapan hati, keteguhan batin, dan keseimbangan batin, maka pertanyaan "Apakah seseorang yang dikatakan beriman harus memiliki agama?", menjadi debatable.

Bagaimana mengukur iman seseorang?
Apakah dengan mengikuti ritual keagamaan seseorang dapat dikatakan beriman?

Mungkin saya membutuhkan waktu yang panjang untuk menemukan jawaban dari pertanyaan ini. Mungkin saya harus menyelam dan tenggelam diantara tumpukan buku-buku teologi. Atau saya hanya butuh diam dan menunggu sampai iman itu benar-benar nyata menghampiri hidup saya.


Sekian.

Selasa, 20 Desember 2016

The Devil and Miss Prym


Beberapa bulan lalu, saya lupa tepatnya kapan,  senior saya (Akbar) pernah bertanya kepada saya, "apakah manusia pada dasarnya baik atau jahat?"

Saat itu saya kekeh menjawab manusia pada dasarnya baik, dengan alasan setiap manusia di dalam hati kecilnya pasti menginginkan sebuah kebaikan. Tapi alasan itu belum sepenuhnya meyakinkan saya bahwa manusia pada dasarnya baik.

Selang bulan-bulan berlalu saya menemukan sebuah buku yang menjawab pertanyaan itu, buku berjudul The Devil and Miss Prym.

Saya menemukan buku itu di Carrefour bersama dua buku lainnya, Berperang Demi Tuhan dan Menerobos Kegelapan karya Karen Armstrong.

The Devil and Miss Prym karya Paulo Coelho ini adalah buku ketiga trilogi And on the Seventh Day. Dua buku sebelumnya adalah By the River Piedra I Sat Down and Wept dan Veronika Decides to Die.

Buku itu mengisahkan tentang seorang asing yang tiba di desa Viscos dengan membawa 11 batang emas. Dia datang untuk mencari jawaban "apakah manusia pada dasarnya baik atau jahat?" .

Desa Viscos yang terlalu damai membuat kehidupan seperti surga yang layaknya neraka. Tawaran orang asing untuk memberikan emas kepada penduduk desa dengan syarat membunuh/mengorbankan 1 nyawa, mengeluarkan wujud asli penduduk desa yang dikuasai keserakahan, kepengecutan, dan ketakutan.

Saat seluruh penduduk desa sepakat untuk mengorbankan Berta -nenek tua yang telah lama ditinggal mati suaminya- untuk dikorbankan demi emas, rencana itu digagalkan oleh Chantal (Miss Prym).

Miss Prym mengisahkan tentang Ahab dan St.Savin, dua tokoh bersejarah bagi desa Viscos.

Ahab yang dikuasai oleh iblis didatangi St.Savian untuk menumpang tidur. Sebelum tidur terjadi pecakapan diantara mereka,

Ahab: Jika malam ini pelacur tercantik desa ini datang kemari, apakah kau akan sanggup memandangnya     dan menganggapnya tidak cantik dan tidak menggoda?
St.Savian: Tidak, tapi bisa mengendalikan diriku.
Ahab: Dan jika aku menawarimu setumpuk keping uang emas agar kau meninggalkan guamu di gunung dan bergabung dengan kami, sanggupkah kau memandang emas itu dan menganggapnya kerikil?
St.Savian: Tidak, tapi  aku bisa mengendalikan diriku.
Ahab: Dan jika kau dicari-cari oleh dua bersaudara, yang satu membencimu dan yang lain menganggapmu suci, sanggupkah kau memiliki perasaan yang sama terhadap keduanya?
St.Savian: itu benar-benar sulit, tapi aku bisa megendalikan diriku sendiri dan memperlakukan mereka dengan sama.

Savian dan Ahab memiliki naluri yang sama, baik dan jahat bertarung di hati mereka, sama seperti di dalam setiap jiwa yang ada di muka bumi ini. Ketika Ahab menyadari savian tidak berbeda dengan dirinya, dia pun menyadari bahwa dirinya tidak berbeda dengan savian. Hal itulah yang menjadikan Ahab menjadi penganut Katolik.

Dari buku ini saya menemukan jawaban bahwa di dalam diri seorang manusia selalu ada naluri baik dan jahat. Tidak ada yang dominan diantara keduanya. Yang ada hanya bagaimana manusia mampu mengendalikan diri. Bagaimana manusia mengendalikan dirinya agar naluri jahat tidak menang di atas naluri baik. Sebab hidup hanya menawarkan dua pilihan, menjadi baik atau menjadi jahat. Dua pilihan. Tidak lebih dan tidak kurang.


Sekian.


Senin, 05 Desember 2016

Kemana arah alumni forum anak?



logo forum anak nasional
Beberapa tulisan di awal blog saya ini menjelaskan bahwa saya pernah berada di organisasi Forum Anak Jakarta (FORAJA), untuk kurun waktu hampir 3 tahun. Setalah itu saya pensius a.k.a ketuaan (sudah lebih dari 18 tahun).  Sekarang saya hanya aktif menulis di Majalah Forum Anak yang dikelola olah Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak, bersama beberapa teman dari forum anak di Jakarta dan sekitarnya.

Tulisan ini akan membahas tentang alumni Forum Anak. Tulisan yang dibuat berdasarkan pengalaman dan pengamatan. Bahasan ini cukup menarik bagi saya, karena saya terlibat dan merupakan bagian darinya.

Ada dua hal yang akan didapat setelah menjadi alumni dari forum anak. Yang pertama adalah kepercayaan diri, dan yang kedua adalah keberanian. Saya berani mengatakan itu karena selama di forum anak memang kami dididik untuk menjadi seperti itu.

Saya mengenal orang-orang hebat setelah masuk forum anak. Salah satu orang yang saya kenal dekat adalah Ka Pian, dia pendiri Yayasan Rumpun Anak Pesisir (YRAP). Yayasan yang bergerak untuk mendidik anak-anak di kampung nelayan Muara Angke.

Dari sekian banyak alumni mungkin yang menjadi legenda adalah Gayatri Walisa dari Forum Anak Maluku. Dialah gadis yang menguasai belasan bahasa asing dan mengharumkan nama Indonesia di Forum Anak tingkat ASEAN. Karena keahliannya ini dia direkrut oleh Badan Intelejen Negara (BIN), dan karna pilihannya itulah dia kehilangan nyawanya saat pelatihan. Hal ini tentu sebuah kehilangan yang amat besar bagi keluarga forum anak. 

Itu sedikit gambaran dari alumni forum anak.

Di sini saya mempertanyakan "kemana arah alumni Forum Anak selepas dia tidak dikategorikan lagi sebagai anak?"

Saya salah satu alumni yang luntang-lantung karna bingung harus apa, dan hal ini pun pasti banyak terjadi pada alumni lainnya. Saat ini saya hanya fokus di study saya, ya walaupun saya sedikit beruntung karena ada aktifitas lain di www.kabarburuh.com dan Majalah Forum Anak (MALFORA).

FCTC untuk Indonesia
Belakangan saya amati, beberapa alumni forum anak berkumpul dalam sebuah kelompok yang bertujuan untuk menekan pemerintah untuk menandatangani FCTC. Mereka menamakan kelompoknya dengan sebutan FCTC untuk Indonesia. untuk info lebih lanjut bisa cek website ini http://www.fctcuntukindonesia.org/

Saya paham bahwa tingkat perokok anak di Indonesia memang semakin mengkhawatirkan, tapi saya rasa forum anak tidak mendidik kita untuk menjadi kelompok penekan yang memaksakan sebuah kebijaka yang "katanya" pro terhadap anak, tapi kita dididik untuk menjadi pengabdi di masyarakat, untuk memperjuangkan hak-hak anak. Toh kalaupun mau menekan sebuah kebijakan ya harus sebuah kebijakan yang berdampak langsung kepada anak.

Saya tidak menyalahkan gerakan FCTC untuk Indonesia, saya hanya menyayangkan bahwa inti dari pendidikan di forum anak ternyata dalam implementasinya sedikit keluar jalur. Bukannya memperjuangkan hak-hak anak, tapi justru mempermasalahkan masalah lain yang sebenarnya bukan inti dari permasalahan anak di Indonesia.

Saya berani mengatakan bahwa masalah perokok anak bukan inti permasalahan anak, karena saya telah menimbang-nimbang mengenai hal ini. Posisi saya saat ini ada di antara aktivis rokok dan anti rokok, oleh sebab itu saya selalu memposisikan diri saya untuk tidak memihak salah satunya.

Permasalahan perokok anak sebenarnya dapat diatasi dengan adanya controling yang kuat dari masyarakat (bukan hanya keluarga). Dan masyarakat pun harus menjadi contoh yang baik bagi anak. Para perokok harus paham posisinya ketika hendak merokok.

Apabila aktivis anti rokok langsung meloncat jauh kedepan untuk mengatasi masalah perokok anak dengan cara pemberlakuan FCTC, maka akan muncul masalah lain yaitu tentang petani tembakau dan buruh pabrik rokok. Indonesia bukannya tidak mau atau tidak bisa menandatangani FCTC, tapi untuk saat ini saya rasa Indonesia memang belum siap untuk meratifikasi kebijakan internasional tersebut.

Merokok bukan sebuah aktivitas yang ilegal, tapi hanya sebuah aktivitas yang tidak baik untuk kesehatan. Bagaimanapun sampai saat ini merokok masih menjadi aktivitas legal dan dilindungi undang-undang.

Oleh karena itu saya sebagai alumni forum anak ingin rasanaya mengajak teman-teman untuk berjuang lagi melindungi hakikatnya hak anak. Karena memperjuagkan hak anak dan kebijakan pengontrolan tembakau itu ada di jalan yang berbeda, meskipun tetap ada persimpangan antar keduannya.


sumber gambar: google.com

Jumat, 02 Desember 2016

Makar


Makar, kata ini masih awam ditelinga saya. Sangking penasarannya saya sampai mencari kata tersebut di KBBI. Makar dalam KBBI adalah 1. akal busuk, tipu muslihat, 2. perbuatan (usaha) dengan maksud hendak menyerang (membunuh) orang, 3. perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintahan yang sah.

Selain aksi 212 berita yang tak kalah menarik hari ini adalah penangkapan 10 orang yang terduga melakukan makar dan melanggar UU ITE. Saya tidak tahu banyak tentang 10 orang tersebut, sepertinya saya hanya mengenal Rahmawati, Ratna Sarumpaet, dan Ahmad Dhani.

Menjelang magrib Bapak dan Ibu saya menonton sebuah berita di I News TV. Berita tentang makar, dengan judul "Penangkapan Aktivis". Judul yang membuat saya mengerutkan dahi untuk beberapa saat. "gue masih lebih setuju nyebut Ahmad Dhani musisi atau artis ketimbang aktivis" bisik saya dalam hati.

Kasus penangkapan ini juga masuk di Line Today. Iseng, saya membaca komentar dari para pembaca. Sepertinya kebanyakan pembaca setuju dengan penangkapan ini dengan alasan orang-orang itu mengganggu keberlangsungan hidup bernegara.

Di Facebook banyak juga yang berkomentar. Tidak sedikit dari mereka yang menyayangkan penangkapan tersebut.

Lalu bagaimana dengan saya? Apakah saya setuju dengan penangkapan ini?

Jawabannya, Saya tidak tahu!

pesan Wilson untuk Simon
Belum lama ini saya membaca sebuah buku yang berjudul "orang-orang yang berlawanan". Buku itu hasil lungsuran dari Sekretariat Komunitas Kretek (Komtek). Di halaman depannya terdapat sebuah catatan kecil dari Wilson (penulis) kepada Bang Simon (seorang aktivis Buruh). Saya rasa ini pesan yang indah.

Tulisan didalamnya berisi tentang tokoh-tokoh yang berjibaku melawan rezim yang sedang berkuasa. Diculik dan diperjara adalah hal lumrah yang terjadi kepada para aktivis di zaman itu.

Kesan setelah membaca buku "orang-orang yang berlawanan", saya terkagum-kagum dengan tokoh-tokoh itu, besar betul pengorbanannya bagi bangsa dan negara. Mereka berani melawan rezim yang mereka katakan "sewenang-wenang".

History has been written by the victor (sejarah ditulis oleh para pemenang). Mungkin itu yang membuat saya terkesan dengan tulisan di buku orang-rang yang berlawanan". Mereka seorang pemenang yang berhasil menumbangkan sebuah kekuasaan.  Saya mengetahuhi gambaran keadaan saat itu hanya lewat tulisan. Dan Saya tidak benar-benar tahu realitas yang terjadi seperti apa.

Lalu bagaimana dengan penangkapan 10 orang ini? Apakah saya juga terkagum-kagum dengan mereka karna pengorbanannya bagi angsa dan negara? Apakah mereka benar-benar melawan kesewenang-wenangan pemerintah yang berkuasa?

Penangkapan ini masih abu-abu bagi saya. Memangnya sejauh apa makar yang mereka lakukan? Memangnya bentuk kesalahan apa saja yang pemerintah lakukan sehingga mereka punya niatan seperti itu? Apakah tujuan utama mereka benar-benar untuk bangsa dan negara? Apakah tidak ada tujuan yang lain, misalnya kekuasaan?

Saya tidak bisa banyak berkomentar dengan penangkapan ini. Saya masih harus banyak belajar dan mencari tahu. Sepertinya bangsa ini sedang menulis buku sejarahnya kembali. Saat ini saya ingin menjadi saksi dari sebuah sejarah, bukan hakim yang menyatakan benar dan salah.


Kamis, 03 November 2016

Warung Tenda Pecel Lele


Sudah beberapa hari ibu saya pulang ke Pemalang untuk mempersiapkan pernikahan adiknya. Alhasil saya dan Bapak saya harus membeli atau makan di luar, karena tidak ada yang memasak di rumah.

Waktu  menunjukkan pukul 22.00, saya sedang membaca buku untuk refrensi mengerjakan tugas Metode Penelitian Sosial (MPS). Bapak saya baru pulang kerja. Biasanya dia membawa makanan karena saya malas keluar rumah untuk membeli makan, tapi hari ini dia tidak bawa apa-apa. Dia mengajak saya makan di luar saja.

Kami makan di warung tenda pecel lele dekat SMPN 127, tepatnya di sebrang Apartemen Casa Goya. Letak warung itu di trotoar jalan. Ukurannya tidak terlalu besar, ya standar ukuran warung tenda kebanyakan.

Pemilik warung tenda pecel lele ini adalah sepasang suami istri. Mereka cukup ramah pada kami. Saya selalu suka makan di tempat-tempat seperti ini karena saya bisa lebih leluasa bercengrama dengan penjualnya. Atau setidaknya saya tidak harus melihat seseorang yang menggaji dan digaji.

Selang waktu 5 menit saya berada di tempat itu, datanglah seorang anak laki-laki. Mungkin usianya sekitar 8-10 tahun. Dia memakai celana panjang berwarna coklat bata dengan kaos putih bergambar Popeye. Dia membawa plastik yang bergambarkan logo alfa midi. Sepertinya dia habis membeli sesuatu di sana.

Dia mengeluarkan ice cream dari dalam plastik tersebut. Rupanya sebuah Ice cream cup Paddle Pop rasa coklat. Dia duduk di sebuah kursi sambil memakan ice cream itu dengan asik.

Setelah ibu pemilik warung tenda selesai memasak pesanan saya dan Bapak saya, dia menghampiri anak tersebut. Ternyata dia anak dari pemilik warung tenda pecel lele ini.

Sembari mengusap-usap kepala anaknya, ibu itu berceloteh kepada kami.
"anak saya tadi bilang, orang-orang Surabaya pada dateng ke Jakarta untuk demo besok. Terus saya jawab, yang semoga saja besok mereka mampir kesini (membeli makanan di warung tenda ini)"

Saya tidak tahu anak itu tahu dari mana orang-orang Surabaya datang ke Jakarta untuk ikut demo. Mungkin dari obrolan teman-teman di sekolahnya, atau entah lah.

Besok menjadi hari yang dikhawatirkan banyak orang. Demo tentang Ahok yang katanya menghina Islam, lewat perkataannya mengenai surat Al Maidah:51. Ribuan orang berapi-api menanggapi perkara itu, padahal banyak dari mereka yang sebenarnya tidak mengetahui jelas duduk perkara yang sebenarnya terjadi.

Sudjiwo Tejo pernah menulis di twitter, kalau tidak salah seperti ini kata-katanya, "tidak perlu membakar kitab Tuhan untuk menghina Tuhan, khawatir besok tidak bisa makan saja itu sudah menghina Tuhan".

Besok sekelompok orang akan menghujat atas nama Islam. Besok pula sekelompok orang akan tetap bekerja untuk mencari makan.

Mungkin banyak dari kita yang tidak mengerti maksud Al Maidah:51, mangkanya lebih memilih mencari makan daripada demonstrasi. Atau mereka terlalu sadar bahwa makanan tidak turun langsung dari langit. Mungkin juga mereka sadar bahwa diadilinya Ahok toh juga tidak membuat perut umat islam semuanya kenyang.
Sekian. 

sumber gambar: google.com

Selasa, 01 November 2016

Lanjutan Jalan-Jalan Malam


Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya.

Saya pulang melewati perumahan elit di kawasan Permata Hijau. Perumahan mewah dan besar. Saya rasa mengepel dan menyapu rumah ini akan membuat badan terasa pegal seharian.  Katanya pemililik rumah-rumah ini adalah bos besar, pengusaha, pemilik pabrik, ya intinya sih bukan pekerja biasa.

Rumah-rumah mewah tersusun rapih di tiap blok. Rumah dengan aksen tradisional Jawa menjadi favorit saya. Di titik perbatasan antara perumahan dan perkampungan selalu ada portal yang dijaga oleh petugas keamanan. Di dalam perumahan juga ada pos polisi yang berjaga, dengan 1 unit mobil polisi yang siap sedia. Ya nampaknya penjagaan perumahan ini sangat baik.

Saya bertanya-tanya dalam diri,
"kalau rumah yang seperti ini harganya kira-kira berapa ya?".
"Kalau seseorang dengan gaji sebesar UMP, harus menabung berapa lama untuk bisa membeli rumah sepert ini?"
"apa pemilik rumah-rumah ini bisa tidur dengan tenang tanpa memikirkan kemalingan dan kebangkrutan?"

Sejenak tentang rumah mewah itu saya lupakan. Mereka menjadi amat memusingkan.

Munir
Beberapa hari lalu saya menonton sebuah film biografi Munir bersama teman-teman di kampus. Di dalam film ini ada sebuah kalimat yang menarik perhatian saya. Saya tidak terlalu ingat keseluruhan katanya, tapi inti kalimat  tersebut adalah "tidak perlu membaca buku yang tebal dulu untuk mengetahui ketidakadilan".

Che Guevara
Sebelum nonton film ini, saya juga ditunjukkan sebuah film oleh senior saya yaitu Ka Yasril. Film itu tentang perjalanan Che Guevara sebelum menjadi Komunis. Perjalanan dari Argentina menuju Venezuela dengan pemandangan sebuah ketidakadilan. Film ini sangat mengesankan, romantisme dibangun tidak dengan kisah cinta-cintaan tapi dengan rasa kemanusiaan.

Roh dari kedua film itu ternyata masih menepel saat saya liputan kemarin.

Aksi KASBI

Kemarin saya meliput aksi buruh KASBI brsama tim www.kabarburuh.com. Salah satu tuntutannya adalah untuk mencabut PP no 78. PP no 78 dikatakan merugikan buruh karena kenaikan upah hanya ditentukan oleh perhitungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi, tidak ada lagi survei Kualitas Hidup Layak (KHL). Sebenarnya saya tidak banyak tau tentang PP ini, sepertinya saya harus banyak mempelajarinya dan mempelajari tentang persoalan perburuhan lainnya.  Ya intinya saya masih harus banyak belajar.

Perjalanan hidup saya selama dua minggu ini memang tidak seamazing Che. Otak saya juga masih terlalu cetek untuk mengkritisi sebuah kebijakan. Tapi yang jelas saya melihat bahwa nyatanya ketidakadilan memang benar-benar ada.

Keadilan itu perlu diperjuangkan. Aksi dalam sebuah perjuangan itu sangat diperlukan. Bukan sekedar aksi penuh orasi yang membara. Tapi aksi juga butuh jiwa, seperti jiwa Munir dah Che Guevara.
Sekian.

Sumber gambar:
Google.com
Facebook Darto Coy

Minggu, 30 Oktober 2016

Jalan-jalan malam


Tulisan ini dibuat setibanya saya di rumah selepas jalan-jalan malam.
 
Waktu menunjukkan pukul 22.30. Bapak saya mengajak pergi ke pasar pisang (dekat Pasar Palmerah) untuk membeli pisang. Memasuki wilayah Palmerah tepatnya setelah SMPN 16, nampaklah pemandangan pasar tumpah. Pedagang sayur menjajakkan dagangannya di sepanjang jalan.

Pasar yang mulai beroperasi diatas pukul 21.00 ini cukup asik dipandang mata. Lemon, brokoli, tomat dan paprika menjadi warna-warna yang indah mewarnai jalan.

Setelah melewati pasar tumpah, tibalah saya di pasar pisang. Pasar ini tidak sepenuhnya menjual pisang, ada juga buah-buah lain. Bahkan ada pula yang menjual sayuran, singkong, dan ubi. Saya rasa pasar ini nampak tidak konsisten dengan namanya.

Di bagian belakang pasar berjajarlah 12 kios yang menjual pisang. Bertandan-tandan pisang digantung di tiap kios. Bapak saya memasuki salah satu kios untuk memilih pisang. Sembari menunggu, saya memutar-mutarkan badan untuk mengamati pasar.

Suara komentator D'Academi Asia mampir di telinga saya. Rupanya beberapa pedagang pisang  sedang menonton acara itu. Salah seorang bertanya kepada temannya "picing apaan sih?", dan temannya tidak ada yang tahu. Mereka nampak asik mengobrol.

Mayoritas pedagang di sini adalah laki-laki. Tidak hanya laki-laki separuh tua, banyak juga laki-laki yang masih muda. Pasar itu sepi, tidak banyak pembeli. Mungkin karena pasar ini merupakan tempat pendistribusian atau memang pasar ini benar-benar sepi, entah lah.

Setiap hari saya melewati pasar ini. Pasar tidak pernah tidur. Mereka berjualan dari pagi sampai pagi lagi. Pantas saja muka mereka terlihat seperti menahan kantuk yang amat sangat.

Pedagang-pedagang itu tidak kenal waktu dalam bekerja, dalam mencari uang. Untuk kehidupan. Tapi kehidupan macam apa?

kehidupan yang setidaknya terpenuhinya sandang, pangan dan papan? Ah, sederhana sekali. Mereka macam orang yang kehilangan mimpi-mimpi.
Sekian.



 sumber gambar: google.com

Sabtu, 22 Oktober 2016

Mukena Kampus


Hari Sabtu ini jadwal kuliah saya padat, rutinitas yang menjenuhkan dan membuat uring-uringan. Sembari menunggu kelas Sistem Perwakilan Politik saya menyampaikan keluh-kesah kepada dua teman saya yaitu, Sandy dan Maul.

"lo tau gak sih, musala cewek joroknya minta ampun. Mukena sampe bau busuk gitu! Buat orang yang imannya tipis kayak gue salat di tempat bersih aja godaannya masih banyak, apalagi di tempat yg kayak begitu!", dengan nada berapi-api saya menyampaikan itu.

Kedua teman saya ini termasuk laki-laki yang rajin beribadah, beda lah pokoknya dengan saya. Mereka salat untuk menjalankan kewajibannya sebagai umat muslim. Sedangkan saya beribadah atas dasar rasa syukur kepada yang memberi hidup dan kehidupan. Kalo kualitas ibadah saya jelek berarti saya sedang jauh dengan Tuhan dan saya tidak mensyukuri hidup, ibaratnya sesederhana itu.

Saya ini bukan orang yang paham tentang agama, tapi saya ingat guru agama saya pernah berkata bahwa "kebersihan adalah sebagian dari iman".

Saya jadi heran!

"Kampus yang mayoritas beragama islam kok tempat ibadahnya kotor? "
"Jadi, sedang pergi kemana iman mereka sekarang?"

Diskusi di lingkungan kampus tentang islam belakangan ini pun tidak jauh tentang Ahok yang katanya kafir, atau ahok yang menistakan surat Al Maidah:51. Diskusi yang saya rasa merupakan diskusi tingkat tinggi, karena melibatkan sebuah penghakiman yang jelas-jelas hakim seadil-adilnya hanya Tuhan.

Padahal saya menantikan sebuah obrolan ringan tentang bagaimana menjaga kesucian rumah Tuhan tanpa bergantung dengan marbot dan petugas kebersihan. Tapi mungkin obrolan ini terlalu remeh dan receh. Lagi pula sepertinya obrolan seperti itu tidak menarik dan membosankan.

Ah Saya terlalu malas berbicara tentang perseturuan Ahok dan keyakinan umat Islam. Saat ini saya hanya ingin mengumpulkan semua mukena itu,  memasukkanya ke dalam kantung plastik yang besar, lalu membawanya ke tukang laundry. Itu saja!
Sekian.


 sumber gambar: google.com

Minggu, 16 Oktober 2016

Tentang Uang


Disela-sela pembuatan materi untuk diskusi hari selasa nanti yang bertemakan "perempuan sebagai tiang negara dalam kabinet kerja Jokowi", kejenuhan pun muncul. Saya belakangan ini lagi malas dengan sesuatu yang serius, saya  menginginkan hal-hal yang menghibur dan menenangkan jiwa.

Iseng saya membuka facebook. Saya menemukan sebuah foto yang diunggah rekan KASBI. Foto ini seketika membuat saya menangis. Saya sudah pernah melihat foto ini sebelumnya, tapi saya lupa tepatnya kapan. Foto ini kalau tidak salah merupakan foto petani yang mengalami kekerasan dari kaki tangan pihak perkebunan. Sungguh tragis pikir saya.

Pikiran saya belakangan ini selalu tentang cinta kasih dan ketenangan jiwa. Semakin saya memahami itu, rasanya saya justru menjadi seseorang yang hatinya cengeng.

"Mengapa dunia ini banyak sekali kebencian?", itu yang terus-menerus saya pikirkan.

"mengapa seseorang terobsesi mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya?"

"Apa benar uang dapat membeli kebahagiaan?"

"Semahal apakah arti kemanusiaan?"

Sungguh saya sangat benci bahasan mengenai uang. Memikirkan uang sama saja membunuh jiwa saya perlahan-lahan. Saya lupa rasa syukur. Saya menjadi iri hati. Saya menjadi terlalu ambisius.

Suatu ketika saya pernah bilang ke teman saya kalau saya magang menjadi wartawan di www.kabarburuh.com , lalu dia bertanya "digaji berapa?", seketika saya langsung kesal.

"Memangnya berarti atau tidaknya sesuatu yang kita kerjakan itu dilihat dari jumlah uang yang didapat?"

Seseorang takut tidak punya uang
Seseorang malu menggunakan barang murah
Seseorang gengsi tidak memiliki kendaraan pribadi
Seseorang berkata uang dapat membeli kebahagiaan

Apakah kalian tahu hakikat kebahagiaan yang sebenarnya?
Sekian. 


Matinya Daun dan Bunga Kemarin


Taman yang rusak
Demonstrasi berbagai elemen masyarakat untuk menolak Ahok kemarin menyebabkan taman di depan balai kota rusak. Sebagian menganggap bahwa rusaknya taman itu akibat ulah demonstran, sebagian lagi menganggap bahwa itu sebuah framing dari media. Saya tidak mau mengatakan pihak mana yang salah dan pihak mana yang benar, karena saya tidak ada di lokasi waktu kejadian. Tapi sungguh saya sangat menyesalkan matinya dedauan dan bunga-bunga itu.

Saat saya duduk di bangku SD, guru saya mengajarkan bahwa makhluk hidup adalah manusia, hewan dan tumbuhan. Saya selalu dianjaran bagaimana bersikap yang baik terhadap sesama manusia. Tapi saya tidak pernah diajarkan bagaimana cara bersikap yang baik dengan binatang dan tumbuhan. Padahal  mereka sama-sama makhluk yang hidup.

Semester lalu saya mendapat mata kuliah Ilmu Kealaman Dasar. Saya mendapat pemahaman bahwa manusia memiliki sebuah keunggulan dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya yaitu akal. Tapi kadang saya bingung kenapa akal manusia menghancurkan alam dengan sebuah istilah "Pembangunan".

Walaupun saya lahir dan dibesarkan di sebuah kota besar, hal itu tidak membuat saya mencintai mall dan hingar-bingar didalamnya. Saya justru sangat mencintai alam dan budaya yang beriringan. Saya selalu beranggapan bahwa alam memiliki roh yang sangat mulia. Berkhianat kepada alam sama buruknya dengan berkhianat  kepada Tuhan.

Saya mungkin sudah menamatkan pendidikan bagaimana caranya menghormati sesama manusia.
Tapi saya masih payah dalam menghormati segala sesuatu yang hidup dan yang menyokong kehidupan. Saya terinspirasi dari tulisan-tulisan Gobind Vashdev yang saya temukan beberapa bulan lalu di Facebook. Karenannya saya mulai belajar bagaimana hidup berdampingan dengan alam, belajar menghormati dan menjaga segala sesuatu yang diciptakan Tuhan.

Saya yakin Tuhan menciptakan manusia dengan akal bukan sekedar untuk memenuhi hasrat kehidupan sebagai manusia, tapi juga sebagai tameng untuk melindungi segala ciptaannya.
Sekian.


 sumber gambar: Google.com

Jumat, 14 Oktober 2016

Sepanjang Jalan Tadi Malam



Tulisan ini dibuat disela-sela mengerjakan tugas Metode Penelitian Sosial (MPS) yang membuat kepala cenat cenut.

Saat ini waktu menunjukkan pukul 0.58 dini hari. Saya masih anteng di depan laptop untuk mengerjakan tugas setelah mendapat sedikit pencerahan dari senior tadi. Selang beberapa menit saya mulai bosan mengerjakan tugas ini.  saya memilih untuk sedikit menulis tentang apa yang saya lihat di parjalanan pulang dari kampus, beberapa jam yang lalu.

Saya tiba di Stasiun Palmerah sekitar pukul 21.30. Saya melihat beberapa orang berbaju hitam di pelataran Stasiun Palmerah. Mereka ternyata sekelompok anak-anak yang sedang berlatih silat. Lima perempuan berumur sekita 12-15 tahun, dan 2 laki-laki yang jauh lebih tua. Dua lelaki itu adalah guru silat mereka. Salah seorangnya seusia saya, dan yang satunya mungkin sekitar 28 tahun.

Satu per satu dari mereka maju dan memperlihatkan hafalan jurusnya. Mereka berlatih dengan santai, tanpa ketegangan. Mereka telihat gembira dengancanda tawa dan senyum di wajahnya.

Saya berlalu menuju mikrolet M11 jurusan Meruya-Tanah Abang yang biasa ngetem di pasar Palmerah. Mikrolet ini hanya berisi 7 orang termasuk supir. Cukup leluasa untuk menikmati malam sepanjang perjalanan.

Di pertiigaan Rawa Belong terlihat segerombol muda-mudi tepat di depan toko yang menjual pernak-pernik Persija, klub bola kebangaan Jakarta.
Saya bertanya-tanya, "memangnya ada pertandingan bola hari ini? Persija menang kah? "
Semakin jauh mikrolet ini berjalan, semakin jauh pula kepedulian saya dengan hal itu.

Saya turun di gapura berwarna merah putih dengan tulisan angka kemerdekaaan, di dekat pohon kamboja yang bunganya berguguran itu. Jalan itu biasanya sepi, terlebih semenjak ojek konvensional tidak mangkal lagi. Malam ini berbeda, jalan ini ramai.

Saya melihat gerombolah muda-mudi lagi. Mereka lebih gila dari yang saya lihat di pertigaan Rawa Belong tadi. Mereka bergerombol dengan pasanganya masing-masing. Mungkin mereka mau pergi jalan-jalan, mengingat besok adalah hari libur untuk anak sekolahan.

Saya melihat empat orang dari mereka berboncengan dalam satu motor. Dengan urutan duduk selang-seling antara laki-laki dan perempuan.
"Ah ini sinting", ucap saya

Saya melewati mereka dengan senyum kecut, dengan nyinyir di dalam hati "gila, ini apa-apaan!".
Semakin jauh saya berjalan, semakin jauh pikiran itu saya lupakan.

Jalanan sepanjang 200 meter menuju rumah malam ini ramai, tidak seperti biasanya. Mungkin malam ini banyak orang yang sedang bersuka cita dengan pilihan-pilihan hidupnya. Menjadi pesilat, menjadi anak tongkrongan atau menjalani kisah cinta. Mungkin itu.
Sekian


 sumber gambar: Google.com

Kamis, 13 Oktober 2016

Gugur Kamboja


Aku memasuki sebuah jalan setelah melewati gapura berwarna merah putih dengan tulisa angka usia kemerdekaan. Jalan itu sepi dengan lampu remang. Sesekali motor lewat memecah sunyi. Berdiri di sepanjang jalan pepohonan berbunga. Bunga kertas, bunga sepatu, dan sebagian lainnya aku tidak tahu apa namanya.

Sebuah pohon masih menggugurkan bunganya seperti jati dimusim kemarau. Berwarna kuning dan putih di tepian kelopaknya, orang-orang menyebutnya kamboja.

Aku memungutnya. Aku mencium wanginya. "inikah bau mistis?", tanyaku
Seseorang berkata  bau bunga kamboja seperti bau kuburan.
"Oh mungkin karena dia berteman dekat dengan melati, kantil dan kemenyan", pikirku

Aku memungut 2 bunga kamboja yang berguguran dibawah dahannya sendiri. Aku mengirup aromanya sepanjang jalan dan kubawa pulang.

Aku memasang bunga itu di selipan telinga. Aku berdiri di depan cermin. Nampak wajahku, kubayangkan seperti perempuan bali dengan rambut kepang dan setumpuk buah-buahan diatas kepalanya.

"Ini tidak terlalu buruk"

Aku letakkan kedua bunga itu diatas meja kamarku, lalu kutinggal tidur.
Dua hari berlalu.
Aku lupa.
Aku punya bunga.

Di atas meja itu kini terlihat kelopak yang kisut. Kuning yang menjadi kecoklatan. Bungaku layu. Tidak ada aroma mistis lagi. Bungaku kini semakin menua. Esok dia semakin coklat. Dan esok lagi dia lebih coklat dan kering atau justru berbau busuk.

Besok aku memungut bunga lagi. Semuanya selalu berulang kembali.
Sekian

*Salam suka-citaku untukmu yang pergi menuju keabadian. 

sumber gambar: google.com

Minggu, 09 Oktober 2016

Sebut Saja Dia Wandi dan Winda


Saya sudah cukup banyak membuat tulisan dalam blog ini. Hampir semuanya merupakan refleksi dari yang saya alami dan saya lihat, dari puisi patah hati sampai perbincangan mengenai tuhan. Hanya 2 atau 3 tulisan yang merupakan sebuah karangan dan sebenarnya saya kurang menyukai tulisan itu. 

Saya baru sadar sejak kecil Tuhan sudah bermain-main dengan hidup saya. Saya pernah tinggal di kawasan yang cukup elit di Senayan, namun seketika saya dipindahkan ke sebuah perkampungan di Kebon Jeruk. Saat pindah ke Kebon Jeruk hidup saya berubah  drastis, dan ini lah waktu-waktu dimana Tuhan menempa saya dengan keras.

Satu-persatu cerita tentang kehidupan saya akan saya ceritakan dalam blog ini. Hal-hal yang membuat pikiran saya selalu dibawa terbang kesana-kemari.

Kali ini yang akan saya ceritakan adalah tentang Wandi atau Winda.

Kebon Jaruk tempat yang saya tinggali 11 tahun yang lalu berbeda dengan Kebon Jeruk yang saya tinggali saat ini. Perkampungan ini berada 50 meter dari anak sungai, yang menyebabkan perkampungan ini sesekali banjir. Di sana merupakan perkampungan dengan jajaran kontrakan permanen hingga semi-permanen. Pemilik kontrakan itu adalah orang-orang betawi yang memiliki tanah atas waris dan tanpa surat-surat yang jelas. Dan penghuni kontrakan merupakan perantau yang kebanyakan berasal dari Cirebon. Mayoritas dari mereka bermata pencaharian sebagai pedagang, seperti pedagang sate kulit, ketoprak dan gorengan.

Saya mengenal seseorang bernama Wandi. Pagi hingga sore hari dia berprofesi sebagai pedagang sate kulit. Saat malam dia menjajakan diri menjadi waria dan biasa dipanggil  Winda. Dia seorang homoseksual. Dia tinggal berdua dengan pasangannya yang orang Medan.

Alm. Ibu saya berteman baik dengan dia. Dia pernah meminta baju bekas dari ibu saya untuk dikenakan saat mangkal. Dia juga sering bercerita tentang kejadian lucu saat dikejar-kejar satpol pp. Keluarga saya, bahkan semua orang di lingkungan ini tidak pernah mempersalahkan kehadiran dia. Seorang ustad (baca: Ustad Manaf) di lingkungan ini pun tidak pernah merasa terganggu dengan Wandi, padahal ia termasuk golongan orang yang sering dibilang sampah masyarakat.

Saya dan teman-teman saya pernah melihat dia berdandan sebelum menjajakan diri menjadi waria. Dia menggunakan alas bedak di seluruh tubuh agar terlihat mulus. Dia menyumpal dadanya dengan kain agar terlihat besar. Dia juga menggunakan wig karena rambutnya tidak cukup panjang. Katanya, baju dan segala macam keperluannya ia beli di Pasar Senen dengan harga yang murah.

Herannya, orang tua kami tidak ada yang melarang kami untuk berdekatan dengan dia. Dia pun tidak menyeramkan bagi kami. Dan tidak ada kejadian aneh-aneh yang kami alami karena dia.

Selama dia tinggal disini tidak ada laki-laki yang tertular jadi gay. Dia pun tidak memengaruhi orang-orang agar sama seperti dia. Ya, dia hidup selayaknya masyarakat biasa.

Beberapa bulan yang lalu (saya lupa tepatnya kapan), saya menghadiri sebuah diskusi mengenai LGBT di daerah Cikini. Disana saya mendengar cerita dari kaum LGBT mengenai diskriminasi yang mereka alami setelah naiknya isu LGBT secara global. Sungguh miris mendengarnya. Dari kasus pengusiran hingga pencabulan, itulah yang mereka alami.

Sebelumnya saya pernah penulis tentang LGBT di blog ini https://apreliaa.blogspot.co.id/2016/02/perspektif-untuk-lgbt.html
Mungkin sebagian akan menanganggap pendapat saya itu omong kosong, atau justru melenceng dari ajaran agama. Tapi yang jelas, hal yang mendasari sudut pandang saya kepada kaum LGBT ini bukan semata-mata karena agama, bukan karena kekahwatiran sosial, tapi saya pernah merasakan sendiri hidup di lingkungan bersama dan berdampingan dengan mereka. Saya rasa tidak seburuk yang orang-orang pikirkan. Mungkin masyarakat terlalu hanyut dengan isu ini. Atau mungkin mereka terlalu paranoid.
Sekian.



sumber gambar: Google.com

Sabtu, 08 Oktober 2016

Menemukan Tuhan



Saat liburan selepas lulus SMA saya membaca dua buah buku, yaitu tentang biografi Soekarno dan buku tentang ajaran Buddha. Di dalam buku biorgrafi soekarno terdapat tulisan tentang bagaimana dia mencari Tuhan. Lalu dalam buku ajaran Budha terdapat tulisan tentang bagaimana Sidharta Gautama menjadi tercerahkan. Kedua buku itu membuka mata saya tentang cara saya memandang Tuhan.

Sebelumnya saya memandang agama sebagai sesuatu yang aneh. Saya tidak pernah puas dengan sesuatu yang diajarkan oleh guru agama, guru ngaji bahkan ustad. Yang saya pikirkan dulu agama seperti perusahaan besar, ada bos dan karyawan.

"Bos selalu memerintah dan selalu benar. Karyawan harus menuruti apa yang dikatakan bos, apabila melanggar akan dihukum. Tapi apabila dia bersikap baik maka akan mendapat bonus."

Hubungan atara sang pencipta dan makhluk ciptaannya itu terlihat konyol dimata saya. Mungkin hal itulah yang membuat nilai agama saya tidak pernah bagus, bahkan saya hampir tidak lulus SMP karena itu.

Setelah saya membaca kedua buku itu saya terus-menerus berpikir,
"saya harus bagaimana?"
"apa yang harus saya lakukan?"
Dan saya masih terus berpikir sampai saat ini.

Saya tidak menemukan jawaban untuk pertanyaan itu dari kedua buku tersebut. Saya pikir saya harus mencari jawabannya sendiri , dan mungkin itu membutuhkan waktu yang sangat panjang.

Mungkin salah kedua orang tua saya karena tidak membesarkan saya dengan pendidikan agama dengan semestinya. Atau juga kesalahan saya karena tidak bisa menerima ajaran agama dengan semestinya pula. Saya tahu mempertanyakan agama dan Tuhan masih selalu dianggap tabu, dan pasti banyak yang memandang sikap saya ini sebagai bentuk perbuatan dosa. Tapi bagi saya, apalah arti hidup yang sebentar ini jikalau kita hanya mengikuti apa yang diperintahkan tanpa mempertanyakan apa maksud dan makna di dalamnya.

Setelah 1,5 tahun saya akhirnya menemukan sebuah jawaban, mengapa saya menganggap agama sebagai suatu yang aneh dan konyol. Selama ini guru saya mengajarkan tentang ajaran islam, apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihinddari, apa yang boleh dan tidak boleh, apa yang baik dan apa yang buruk. Tapi mereka tidak sekalipun mengajarkan saya untuk cinta kepada Tuhan saya.

Di dalam ajaran islam..............
Menurut al Quran dan hadist..................
Nabi/rasul bersabda.........................
Itu yang selalu mereka katakan.

"Seseorang menghindari perbuatan buruk karena takut dosa. Seseorang shalat karena kewajiban dan hitungan pahala. Seseorang mengikuti ajaran agama karna ingin surga. Seseorang menghindari dosa karena takut neraka." mengapa harus seperti ini?

Saya masih harus belajar banyak tentang Islam, tapi yang jelas saat ini saya sudah menemukan dan jatuh cinta dengan Tuhan. Saya tidak peduli dengan pahala, dosa, surga ataupun neraka. Saya rasa itu urusan Tuhan dan malaikat-malaikatnya. Apapun yang saya lakukan saat ini semata-mata karna kecintaan saya kepada zat yang memberikan saya hidup dan kehidupan. Saya masih yakin bahwa Tuhan ada di setiap hati nurani manusia. Saya cukup mempelajari apa-apa yang telah ia turunkan dan mengikuti hati nurani dalam tiap langkah saya. Mungkin kalau saya bisa bertemu dengan-Nya saya akan mengatakan, "tenang, saya bukan makhlukmu yang pamrih".
Sekian.  

sumber gambar: Google.com

Senin, 03 Oktober 2016

Bapak Penjual Kue Putu


Waktu menunjukkan pukul 1.40 dini hari. Udara di luar cukup dingin, sedikit menusuk meski tidak separah udara Bogor dan Puncak. Sebuah api unggun masih menyala, walau hanya tinggal bara dan sedikit nyala apinya. Masih cukup menghangatkan, pikirku.

Aku mendangak ke atas. Tidak ada bulan. Hanya ada dua bintang. Aku masih berharap bisa melihat lebih banyak sesuatu yang berkerlap-kerlip malam ini. Malam ini terlalu sepi. Terlalu dingin. Terlalu gelap.

Seseorang dengan gerobak lewat di depanku. Dia penjual kue putu. Tidak ada ngiung dari suara uap, mungkin karena dagangannya sudah habis.

Usianya kurang lebih 40 tahun. Bapak penjual kue putu itu tingal sendiri tanpa anak istri. Dia seorang duda, ditingal mati istrinya karena sakit jantung dua tahun lalu. Dia memiliki seorang anak perempuan, yang kini tinggal bersama neneknya di kampung. Anak perempuan itu bertubuh agak gemuk, berambut keriting, berkulit coklat, dan agak cerewet. Mirip sekali dengan mendiang Ibunya, hanya saja kulit ibunya sedikit lebih putih.

Malam ini ia terlihat sangat kelelahan. Kantung matanya besar dan menghitam. Kupikir dia sudah bosan melihat malam. Mungkin dia juga sudah bosan melihat bulan dan bintang. Mungkin dia butuh yang jauh lebih bersinar. Mungkin juga dia butuh sesuatu yang lebih menghangatkan.

Dia terus mendorong gerobaknya. Rodanya terus berputar. Menerobos malam.
Sekian.

Puasa Gadget


Sudah beberapa minggu saya mulai membatasi diri dengan gadget dan social media. Angan-angan saya malah ingin benar-benar meninggalkan itu semua, tapi saya sadar tidak semudah itu. Perlahan saya mulai meninggalkan instagram, dan ternyata berhasil. Tapi ternyata sangat sulit untuk meninggalkan yang lainnya.

Keinginan saya untuk menggurangi penggunaan gadget dan social media dikarenakan saya belakangan ini sering  sakit kepala. Saya pikir ada yang tidak beres dengan kepala saya, mungkin karena radiasi dari gadget yang saya gunakan.

Tekad saya untuk membatasi diri dari gadget dan social media semakin bulat setelah saya ngobrol dengan teman saya Rizki Ansyari (baca: Oe).

"ah gila, belakangan ini gue mageran baget baca buku!", ucap saya
"gue aja bersyukur hp gue rusak, gue jadi punya banyak waktu buat baca buku. Ya walaupun sering ketinggalan informasi sih." balasnya
"mungkin gue harus ngerusakin tab gue!"
.....................

Saya berpikir keras bagaimana meninggalkan kebiasaan itu. Saya akui memang susah, tapi saya tetap bertekad, saya harus bisa! Akhirnya saya membuat pola/jadwal 'kapan saja saya bisa menggunakan gadget'. Mungkin kelihatannya agak konyol, tapi sungguh saya melakukan ini.

Teman-teman saya terkadang ngomel karena saya susah dihubungi, lalu saya hanya bisa tertawa sambil menjelaskan bahwa saya jarang pegang tab. Mereka sepertinya menerima alasan saya, atau mungkin tidak.

Mungkin terlihat aneh ketika seseorang lahir di dunia dan dimanjakan dengan kemudahan yang disebut teknologi tapi dia memilih pergi ke dunia entah-berantah yang penuh dengan semak belukar.
Saya terlihat seperti sedang melarikan diri dari dunia. Saya semakin yakin bahwa sepertinya saya lahir di zaman yang salah. Jiwa saya sepertinya menolak untuk tetap berda di dunia yang seperti ini. 

Saat ini saya memiliki harapan untuk benar-benar tidak menggunakan gadget selama beberapa hari dalam seminggu, atau setidaknya pada hari libur. Saya menyebutnya "puasa gadget". Saya merasa gadget, internet, social media itu seperti lingkaran setan. Radiasinya membuat fisik saya sakit dan hal-hal di dalamnya membuat jiwa saya yang sakit.
Sekian.


sumber gambar: Google.com


Sabtu, 01 Oktober 2016

Barisan Minyak Nabati


Kemarin saya ke Carrefour berniat untuk membeli minyak zaitun (EVOO: Ekstra Virgin Olive Oil) yang kebetulan persediaan di rumah sudah habis. Minyak Zaitun sangat penting bagi saya karna sangat serbaguna. Biasanya saya menggunakan produk minyak zaitun dari mustika ratu (sudah kurang lebih 3 tahun). Tapi setelah saya baca-baca di internet ternyata minyak zaitun yang di produksi oleh perusahaan kosmetik dan skin care tidak murni dari minyak zaitun, melainkan sudah dicampur dengan minyak esensial lainnya untuk menambahkan aroma. Oleh karena itu saya memilih beralih menggunakan EVOO yang kandungan nutrisinya lebih tinggi dibanding minyak zaitun jenis lainnya (Virgin olive oil, ekstra light olive oil).

Ahirnya saya sampai di depan rak yang berisi belasan merek minyak nabati seperti borges, bertolli, flippo berio, dll . Rak ini didominasi oleh produk minyak zaitun dan ada minyak lainnya seperti minyak biji anggur, canola oil, dan virgin coconut oil (VCO). Saya cukup lama berada di depan rak ini karna saya membaca satu persatu komposisi dari setiap produk, tapi sasaran saya waktu itu hanya EVOO. Minyak-minyak ini hampir semuanya produk impor dari Eropa dan Arab. Ya wajar saja karna memang buah zaitun tidak tumbuh di Indonesia, oleh karena itu tidak mungkin ada produk minyak zaitun buatan lokal.

Tiba-tiba mata saya tertuju pada satu produk virgin coconut oil (VCO) yaitu, Java Coconut Oil. Java Coconut Oil  merupakan satu-satunya produk minyak kelapa, dan satu-satunya pula produk lokal di rak itu. Tiba-tiba  terucap dari mulut saya "Ah ini sinting"

*saya tiba-tiba ingin jadi pengusaha VCO*

Silahkan baca :

Dari dua link tersebut dapat digambarkan bagaimana minyak kelapa dibombardir oleh minyak-minyak lain. Persaingan industri pun ikut ambil bagian dari runtuhnya kepercayaan terhadap minyak kelapa.

Sebagai negara dengan garis pantai yang sangat panjang dan beriklim tropis, pohon kelapa merupakan berkah alam yang luar biasa besarnya. Dengan kandungan nutrisi yang sangat baik seharusnya minyak kelapa lokal bisa bersaing dengan produk minyak impor lainnya.

Saya pikir minyak kelapa mempunyai peluang bisnis yang besar. Kalau masih berpikir sulit untuk bersaing dengan industri minyak sawit yang produknya jauh lebih murah dibandingkan minyak kelapa, mungkin ada peluang yang lebih besar di industri kecantikan (beberapa artis hollywood menggunakan minyak kelapa sebagai rahasia kecantikannya).

Sebenarnya bukan minyak kelapa saja yang bisa menjadi peluang bisnis, tapi kita bisa memanfaatkan kekayaan alam kita yaitu rempah-rempah. Rempah-rempah dapat diolah menjadi minyak nabati yang memiliki nilai ekonomis seperti misalnya Minyak kemiri dan minyak wijen.

Saya tidak mau berlama-lama di depan rak minyak nabati ini, semuannya membuat saya pusing. Akhirnya saya tidak jadi membeli EVOO, saya memutuskan untuk membeli  Java Coconut Oil saja. Seperti kata Titik Puspa dan Direktur Maspion, "cintailah produk-produk Indonesia".
Sekian.


Sumber gamba: google.com