Waktu menunjukkan
pukul 1.40 dini hari. Udara di luar cukup dingin, sedikit menusuk meski tidak
separah udara Bogor dan Puncak. Sebuah api unggun masih menyala, walau hanya
tinggal bara dan sedikit nyala apinya. Masih cukup menghangatkan, pikirku.
Aku mendangak ke
atas. Tidak ada bulan. Hanya ada dua bintang. Aku masih berharap bisa melihat
lebih banyak sesuatu yang berkerlap-kerlip malam ini. Malam ini terlalu sepi.
Terlalu dingin. Terlalu gelap.
Seseorang dengan
gerobak lewat di depanku. Dia penjual kue putu. Tidak ada ngiung dari suara
uap, mungkin karena dagangannya sudah habis.
Usianya kurang lebih
40 tahun. Bapak penjual kue putu itu tingal sendiri tanpa anak istri. Dia
seorang duda, ditingal mati istrinya karena sakit jantung dua tahun lalu. Dia memiliki seorang
anak perempuan, yang kini tinggal bersama neneknya di kampung. Anak perempuan itu
bertubuh agak gemuk, berambut keriting, berkulit coklat, dan agak cerewet.
Mirip sekali dengan mendiang Ibunya, hanya saja kulit ibunya sedikit lebih
putih.
Malam ini ia
terlihat sangat kelelahan. Kantung matanya besar dan menghitam. Kupikir dia
sudah bosan melihat malam. Mungkin dia juga sudah bosan melihat bulan dan
bintang. Mungkin dia butuh yang jauh lebih bersinar. Mungkin juga dia butuh
sesuatu yang lebih menghangatkan.
Dia terus mendorong
gerobaknya. Rodanya terus berputar. Menerobos malam.
Sekian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar