Senin, 03 Oktober 2016

Bapak Penjual Kue Putu


Waktu menunjukkan pukul 1.40 dini hari. Udara di luar cukup dingin, sedikit menusuk meski tidak separah udara Bogor dan Puncak. Sebuah api unggun masih menyala, walau hanya tinggal bara dan sedikit nyala apinya. Masih cukup menghangatkan, pikirku.

Aku mendangak ke atas. Tidak ada bulan. Hanya ada dua bintang. Aku masih berharap bisa melihat lebih banyak sesuatu yang berkerlap-kerlip malam ini. Malam ini terlalu sepi. Terlalu dingin. Terlalu gelap.

Seseorang dengan gerobak lewat di depanku. Dia penjual kue putu. Tidak ada ngiung dari suara uap, mungkin karena dagangannya sudah habis.

Usianya kurang lebih 40 tahun. Bapak penjual kue putu itu tingal sendiri tanpa anak istri. Dia seorang duda, ditingal mati istrinya karena sakit jantung dua tahun lalu. Dia memiliki seorang anak perempuan, yang kini tinggal bersama neneknya di kampung. Anak perempuan itu bertubuh agak gemuk, berambut keriting, berkulit coklat, dan agak cerewet. Mirip sekali dengan mendiang Ibunya, hanya saja kulit ibunya sedikit lebih putih.

Malam ini ia terlihat sangat kelelahan. Kantung matanya besar dan menghitam. Kupikir dia sudah bosan melihat malam. Mungkin dia juga sudah bosan melihat bulan dan bintang. Mungkin dia butuh yang jauh lebih bersinar. Mungkin juga dia butuh sesuatu yang lebih menghangatkan.

Dia terus mendorong gerobaknya. Rodanya terus berputar. Menerobos malam.
Sekian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar