Jumat, 12 Februari 2016

Sore Hari di stasiun Tanah Abang


Sore itu menjelang magrib di Stasiun Tanah Abang ku lihat awan begitu pekatnya, ku pikir perang bangsa barata sedang berlangsung diatas sana. Perang itu memang maha dahsyat namun syarat dengan kesedihan yang tersirat. Beberapa saat kemudian hujan mulai turun, petir saling sambar bersahutan seperti sedang bercakap
"aku ini yang paling hebat"
"bukan kau, tapi aku"
"kalian tak ada apa apanya, aku yg paing berkuasa"
Ngiang-ngiang itulah yang kubayangkan. Diantara air-air yang jatuh ternyata ada setetes air mata batara surya, sebab hari itu ia gagal menjalankan tugasnya untuk menyinari. Lalu gelegar halilintar menunjukan bahwa kuasa Siwa sore itu sedang dipuncak, apapun bisa ia hancurkan termasuk kehidupan. Sore di stasiun Tanah Abang itu sangat mengerikan, bumi seolah sedang diobok-obok jemari Tuhan. Kehidupan seperti tak memiliki masa depan apalagi harapan. Namun aku heran di Stasiun Tanah Abang orang-orang masih saja sibuk melototi layar-layar eksistensi, mereka seperti terhipnotis mereka hidup namun tak sadar. Mereka tak melihat dan tak mendengar, padahal mereka tidak buta dan tidak tuli.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar