Sore itu menjelang
magrib di Stasiun Tanah Abang ku lihat awan begitu pekatnya, ku pikir perang
bangsa barata sedang berlangsung diatas sana. Perang itu memang maha dahsyat
namun syarat dengan kesedihan yang tersirat. Beberapa saat kemudian hujan mulai
turun, petir saling sambar bersahutan seperti sedang bercakap
"aku ini yang paling hebat"
"bukan kau,
tapi aku"
"kalian tak ada
apa apanya, aku yg paing berkuasa"
Ngiang-ngiang itulah
yang kubayangkan. Diantara air-air yang jatuh ternyata ada setetes air mata
batara surya, sebab hari itu ia gagal menjalankan tugasnya untuk menyinari.
Lalu gelegar halilintar menunjukan bahwa kuasa Siwa sore itu sedang dipuncak,
apapun bisa ia hancurkan termasuk kehidupan. Sore di stasiun Tanah Abang itu
sangat mengerikan, bumi seolah sedang diobok-obok jemari Tuhan. Kehidupan
seperti tak memiliki masa depan apalagi harapan. Namun aku heran di Stasiun
Tanah Abang orang-orang masih saja sibuk melototi layar-layar eksistensi,
mereka seperti terhipnotis mereka hidup namun tak sadar. Mereka tak melihat dan
tak mendengar, padahal mereka tidak buta dan tidak tuli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar