Sebenarnya saya
tidak terlalu paham masalah si Gafatar itu yang disebut-sebut sebagai aliran
sesat. Saya juga sebenarnya ndak tertarik sama masalah aliran-aliran keagamaan
seperti itu. Tapi ada satu hal yang menarik dari Gafatar bagi saya yaitu
masalah tanah.
Saya terheran-heran
ketika menyaksikan berita di tv mengenai masyarakat eks Gafatar yang menolak
dipulangkan, dalam pemikiran saya yang sempit respon yang pertama kali muncul
adalah "ya kok tolol sekali mereka itu padahal sudah jelas gafatar aliran sesat".
Namun setelah saya membaca berita dari berbagi sumber saya menyimpulkan
bahwa masalah si Gafatar ini bukan soal
aliran sesatnya tapi masalah tanah.
Gafatar memiliki
tanah hibah 5.000 hektar di Pulau Kalimantan yang katanya akan dibangun kota
mandiri. Tanah ini disebutkan merupakan hibah dari kepala suku di Pulau
Kalimantan.
Lalu apa hubungannya
dengan anggota eks gafatar yang tidak mau dipulangkan?
Kata salah seorang
anggota eks Gafatar, harga tanah disana sangat murah dengan uang 7 juta sampai
14 juta mereka bisa mendapatkan tanah seluas satu hektar untuk dikelola.
Mengetahui harga tanah yang sangat murah di sana para anggota Gafatar ini
akhirnya menjual aset mereka untuk dijadikan modal untuk memulai kehidupan yang
baru di Pulau Kalimantan. Oleh karena itu setelah Gafatar dinyatakan sebagai
aliran sesat maka bingung lah mereka, sebab mereka sudah tak punya apa-apa
lagi.
Gafatar, Rakyat dan
Tanah
Sedikit cerita soal
pengalaman yang saya dapat mengenai konfilik tanah antara petani dan perusahaan
perkebunan di daerah Tasik. Di Desa Cieceng dulu masyarakatnya hidup miskin
sebab mereka hanya bekerja menjadi buruh
tani di perusahaan perkebunan dengan upah yang tidak layak. Karena diketahui
bahawa perusahaan perkebunan ini memiliki dasar hukum yang tidak sesuai
(nyeleneh) akhirnya penduduk desa cieceng melakukan perlawanan untuk meminta
(merebut) tanah dari perusahaan perkebunan itu. Dengan perlawanan sengit
melawan polisi dan preman bersenjata suruhan perusahaan itu akhirnya warga Desa
Cieceng menang. Salah seorang pejuang dari Desa Cieceng bernama Pak Tatang
berkata "kami tidak butuh program pupuk murah, yang kami butuhkan adalah
tanah untuk digarap. Kalau kami tidak punya tanah apa yang akan kami tanam dan
apa yang akan kami pupuk?". Jika ditarik kesimpulan maka sebenarnya
masyarakat butuh sekali tanah garapan dan orang-orang eks Gafatar itu sebenernya
mah nggak peduli sama alirannya Gafatar, tujuan mereka yaitu untuk mendapatkan
tanah garapan untuk memperbaiki kehidupan! Udah itu doang.
Terlepas dari aliran
yang dibawa oleh Gafatar, harusnya program pemberian tanah garapan bagi
penduduk ini didukung. Buatlah masyarakat sejahtera karena kerja kerasnya bukan
dengan program "gratisan" yang menbuat rakyat bermental pengemis.
Tapi perlu diingat
(pelajaran dari Desa Cieceng) mental masyarakat kita ini masih cemen,
pemerintah cukup beri tanah garapan dan izin untuk usaha tapi jangan berikan
sertifikat tanah sepenuhnya sebab resiko dijual-belikan atau digadaikan tinggi.
Yang terakhir, kalau
pemerintah sungguh ingin meratakan pembangunan dan pemerataan jumlah penduduk
di Indonesia harusnya program Transmigrasi seperti ini didukung penuh. Sebab
pulau jawa ini rasanya sudah sangat sesak sekali.
Saya jadi penasaran.
Bagaimana nasipnya ya orang-orang eks gafatar yang dipulangkan namun tidak
punya harta benda lagi? Apa iya jadi gembel? Mengapa tidak dibiarkan disana dan
dibina saja? Setidaknya kemungkinanan sejahteranya lebih tinggi sedikit dibandingkan
balik lagi ke pulau jawa yang kemungkinan jadi gembelnya nyata sekali. Apa
pemerintah lebih rela 5.000 hektarnya dibiarkan atau diberikan ke perusahaan
karenan pajaknya yang besar daripada digarap rakyatnya sendiri? Apa"
aliran sesat" itu cuma konspirasi agar 5.000 hektar tanah itu tidak jatuh
ke tangan rakyat?
Cuma Tuhan yang Maha tahu
refrensi:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar