Rabu, 24 Februari 2016

Obrolan Setan


Kemarin malam kebetulan saya ndak bisa tidur, lalu saya tiba-tiba mendengar obrolan sekelompok setan . Kira-kira seperti ini obrolan mereka

Setan 1 : Tuhan nyuruh kita ke dunia tuh buat apaan sih?
Setan 2 : Buat ngegoda iman manusia lah Bro
Setan 1 : Ah itu kan tugas kita dulu, maksudku tuh tugas kita sekarang ini
Setan 2 : Loh memangnya tugas kita dulu dan sekarang beda?
Setan 1 : Ya sebenarnya sama
Setan 2 : Lalu maksudmu gimana?
Setan 1 : aku ini bingung mau menggoda manusia yang mana lagi
Setan 2 : Kau goda lah manusia yang baru beranjak dewasa itu, mereka mudah sekali mendengarkan kata-kata kita
Setan 1 : Ah aku ndak tertarik menggoda mereka, wong mereka nggak tak goda pun kelakuannya mirip-mirip sama kita. Kau perhatikan saja kata-kata mereka, masa manggil kawan saja pake sebutan monyet, anjing, babi dan sebagainya, kan lucu. Kita saja yang bangsa setan masih memuliakan binatang-binatang itu, lah mereka itu yang katanya diberi akal kok kelakuannya lebih setan daripada kita yang bangsa setan

kemudian datang setan 3

Setan 3 : Kalau begitu kau coba saja menggoda ulama, ustad, habib dan berbagai pemuka agama itu. Bukan kah mereka jauh lebih menantang?
Setan 2 : Betul tuh, zaman dulu berat sekali menggoda golongan seperti mereka itu
Setan 1 : Sudah pernah aku coba, namun ternyata juga terlalu mudah
Setan 3 : Ah apa iya? (heran)
Setan 1 : iya aku serius. (berusaha meyakinkan)
Setan 3 : bagaimana caramu menggoda mereka?
Setan 1 : pokoknya cara yang terbukti ampuh sepanjang masa hahaha
Setan 3 : cara apa itu?
Setan 1 : Harta, Tahta, Wanita (tersenyum dengan muka licik)

mereka tertawa terbahak-bahak sampai air mata membasahi jubah mereka. Melihat kawannya beramai-ramai tertawa lalu datanglah setan 4 karena penasaran.

Setan 4 : kalian ini kenapa tertawa sampai sebegitunya?
Setan 2 : kami menertawakan manusia
Setan 4 : memangnya ada apa dengan manusia?
Setan 2 : mereka itu mengaku manusia modern tapi imannya menjelang akhir zaman malah makin primitif hahaaha
Setan 4 : ah bisa saja kalian hahaha
Setan 2 : kau dari mana? (bertanya kepada setan 4)
Setan 4 : aku dari SCTV
Setan 2 : loh ngapain? (heran)
Setan 4 : memastikan sinetron Para Pencari Tuhan tahun ini tayang
Setan 2 : Apa urusanmu dengan sinetron itu? (semakin heran)
Setan 4 : aku suka saja melihat manusia tiap tahun kebingungan mencari Tuhannya. Berabad-abad yang lalu Tuhan ciptakan manusia yang diberikan mandat untuk menjadi khalifah di bumi, lalu sekarang tiba tiba mereka bingung mencari dimana Tuhannya, loh selama ini mereka ngapain kok ya baru nyari Tuhannya sekarang? Boro-boro jadi khalifah di bumi, wong Tuhan yang memberi mandat kepada mereka saja mereka ndak tau dimana. Aneh betul manusia manusia itu.

Mereka semakin tertawa terbahak-bahak

Setan 3 : Kalau begitu berarti tugas kita sebagai setan sukses besar dong?
Setan 1 : ah ndak juga
Setan 3 : loh kenapa tidak? Bukankan manusia sekarang sudah tergoda oleh bujuk-rayu kita?
Setan 1 : iman manusia saat ini rusak bukan karena godaan kita, namun manusia itu sendiri yang menjadi setan bagi dirinya
Setan 3 : ah tau darimana kamu hal itu?
Setan 1 : coba kau lihat, mereka sibuk membuat aturan ini-itu agar mereka tidak korupsi, tidak mencuri, tidak membunuh dan hal yang tidak-tidak lainnya. Mereka butuh aturan agar tidak berprilaku buruk. Konsep hidup macam apa itu
Setan 3 : lalu?
Setan 1 : itu membuktikan bahwa yang mereka takuti bukan godaan dari kita bangsa setan, tapi diri mereka sendiri lah yang mereka takuti.

Setan 2 dan 4 asyik menyimak

Setan 1 : coba kau perhatikan lagi kegiatan manusia belakangan ini. Mereka lebih sibuk menyensor gambar-gambar senonoh ketimbang berusaha menutupi auratnya dan menjaga pandangannya. Mereka lebih sibuk menyertifikati halal-haram namun lalai dengan harta yang dimiliki halal atau haram. Mereka lebih sibuk menyoroti perilaku buruk orang lain daripada memperbaiki prilaku dan kualitas ibadahnya sendiri.
Setan 3 : betul juga ya. Ah kalau begitu ayo kita beramai-ramai menghadap Iblis
Setan 1 : untuk apa?
Setan 3 : aku ingin memberitahunya bahwa sikapnya dulu menolak untuk menyembah dan bersujud kepada Adam itu sangatlah tepat. Lah buktinya sekarang manusia beramai-ramai dengan terang-terangan bersujud dan menyembah setan.




Lalu saya bingung itu sebenarnya obrolan setan atau memang isyarat dari malaikat.




Minggu, 21 Februari 2016

Mempertanyakan Pancasila, Sila Pertama


    Mungkin agak lancang bagi saya mahasiswa tingkat satu yang ilmunya masih dangkal untuk mempertanyakan sebuah ideologi bangsa yaitu Pancasila. Tulisan ini dibuat atas dasar sifat jelek saya yang memiliki iri berlebih kepada orang yang berilmu. Saya menulis ini karena dua teman diskusi saya yaitu Mas Wahyu Adji dan Mas Aulia Rahman diam-diam mendiskusikan soal Pancasila dari sudut tekstualnya dan 45 butir-butirnya sesuai Tap MPR No.I/MPR/2003. Karena itulah saya ikut mencoba mengartikan Pancasila. Untuk mengartikan setiap kata saya menggunakan KBBI sebagai pedoman.

    Sila Pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa

  1. Secara tekstual

  2. Tuhan : 1. sesuatu yang diyakini, dipuja dan disembah oleh manusia sebagai yang Mahakuasa, Mahaperkasa,dsb; 2. Sesuatu yang dianggap sebagai Tuhan

    Ke-tuhan-an : 1. Sifat keadaan Tuhan; 2. Segala susuatu yang berhubungan dengan Tuhan , yang berhubungan dengan tuhan, ilmu mengenai keadaan Tuhan dan Agama, kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa

    Maha : bentuk terikat   1. sangat, amat, teramat; 2. Besar

    Esa : num tunggal, satu

    Maha Esa : amat tunggal (Allah)


    Pertanyaan:
    Mengapa kata "Maha Esa" dipisah? Bukankah kata "Maha" yang diikuti oleh kata dasar itu bentuknya terikat dan harus ditulis serangkai?  contohnya seperti kata Mahasiswa, Mahakuasa, Mahaguru, dsb. Mengapa ada pengecualian untuk kata "Esa"?

    Dalam KBBI sendiri arti "Maha Esa" adalah amat tunggal (Allah). Menggapa harus ada kata "(Allah)"? Padahal di dalam KBBI "Allah" adalah (nama Tuhan dalam bahasa Arab, Tuhan Yang Maha Esa yang disembah oleh orang yang beriman). Menggapa menggunakan kata "(Allah)" yang jika diartikan memiliki makna nama Tuhan dalam bahasa Arab, bukankah itu membuat "Maha Esa" terlihat condong ke salah satu agama? Mengapa menggunakan "(Allah)" bukan "(Tuhan)" yang kalau diartikan lebih mencakup ke semua agama? Bukankah kalau begini "Maha Esa" memiliki maksud terselubung yaitu  yang tunggal adalah Allah, Tuhan salah satu agama?


  3. Berdasarkan butir-butir Pancasila Sila Pertama

  4. Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
  5. Manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
  6. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
  7. Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
  8. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
  9. Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
  10. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.

  11. Pertanyaan:
  12. Dalam butir 1,2, untuk mengatur warga negara Indonesia wajib beragama (memiliki Tuhan) dan mengakui adanya Tuhan bukankah cukup menggunakan kata "Tuhan" saja tanpa disebut lengkap " Tuhan Yang Maha Esa"?
  13. Butir 3 dan 4 tidak perlu diperjelas dengan "terhadap Tuhan Yang Maha Esa" bukankah sudah cukup jelas?
  14. Butir 5, mengapa tidak "agama dan kepercayaan terhadap Tuhan adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan-nya", bukankah itu lebih mudah dipahami
  15. Butir 7, ini yang paling janggal menurut saya. Kok saya memahami kata "Tuhan yang maha esa" merujuk pada suatu agama sebab sebelum kata itu ada kata "terhadap". Bukankah jika kalimatnya "tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain" itu sudah cukup jelas?


  16. Sesuatu yang kurang saya pahami dalam sila pertama Pancasila ini adalah makna "Maha Esa" dan pengulangan berkali-kali "Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam butir-butir pancasila, namun tidak dijelaskan makna Ketuhanan yang Maha Esa itu seperti apa.

    Saya memahami jika tulisan saya ini muatannya sensitif sekali. Sebelum saya berusaha mengartika Pancasila secara terminologi, saya selalu mengartikan sila pertama pancasila yang berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa"  yaitu setiap rakyat Indonesia harus beragama dan bebas memeluk agama apapun yang diakui negara Indonesia namun hanya ada satu agama yang ia anut yaitu agama yang ia anggap paling benar. Saya rasa pengertian awal saya mengenai sila pertama ini lebih membuat saya tenang, daripada yang saya tulis kali ini. Sejujurnya saya tidak ingin menulis ini, namun ketidakpahaman yang membuat saya gatal untuk menulis. Saya dengan senang hati menerima tanggapan atas tulisan saya ini, sebab itu juga merupakan ilmu bagi saya untuk melihat suatu masalah dari sudut pandang yang lain. Dan saya berharap sekali ada seseorang yang mampu menjawab pertanyaan saya ini. Terima kasih.



Jumat, 19 Februari 2016

Kisah Punan, Bu Susi


Punan terdaftar menjadi siswa SMP Jaya
Sekolah yang terkenal mahal biayanya
Namun Punan tak keluar uang sepeserpun
Bu Susi semua yang menanggung

Bu Susi memang terkenal banyak harta
Maklum sawah berhektar-hektar di Desa Mulya kepunyaannya
Meski kaya Bu Susi tidak pernah bertinggi hati
Bu Susi sangat sederhana
Tak pernah dipakainya emas-emas permata ciri khas wanita sosialita

Bu Susi hidup menjanda tanpa suami
Suaminya telah pergi kealam yang abadi
Bu Susi adalah wanita mandiri
Tak masalah meski tak ada yang mendampingi
Memang dari dulu ia tak pernah menggantungkan diri kepada lelaki

Bu Susi tanda kehebatan perempuan
Mampu berdiri tegak walau hanya sendirian
Ia tak pernah meminta belas kasihan
Apalagi menangisi keadaan




Kisah Punan, Anak Perantauan


Punan kini sudah kelas 6 SD
Sedikit lagi menempuh ujian
Namun Punan memiliki keresahan
Biaya-biaya pendidikan berkelanjutan tak tahu untuk siapa dibebankan

Punan resah
Punan ingin bersekolah
Punan bingung
Punan tak tega jika hanya ibu yang menanggung

 Didalam keresahannya punan tetap selalu berusaha
Tekatnya memang selalu membara
"selalu ada jalan bagi umat-Nya" itu katanya

Setelah ujian kelulusan Punan bahagia
Sebab nilainya adalah bukti nyata perjuangan yang tak sia-sia
Punan mendapat tawaran dari Bu Susi
Ikut ke Jakarta untuk menempuh jenjang yang lebih tinggi

Punan ingin
Tapi Punan gelisah
Bagaimana bisa ia meninggalkan ibunda
Bagaimana bisa ia meninggalkan ayam-ayam yang kokoknya menjadi sumber semangatnya

"ibu merestui kepergianmu untuk masa depanmu Nak" kata Ibu Punan
Kalimat itu satu-satunya alasan Punan mau ikut Bu Susi ke Jakarta
Meninggalkan kehidupan desa yang bersahaja
Menyambut hiruk-pikuk kemajemukan Ibu Kota

Sekarang disini Punan
Melangkah sebagai perantauan
Di tanah tempat orang-orang menanam pohon-pohon kesejahteraan
Atau
Disinilah Punan
Di kota lumbung masalah dan keserakahan

Senin, 15 Februari 2016

Perspektif untuk LGBT


Ternyata bahasan ini memang sungguh sangat menarik. Sedikit cerita, kemarin saya mewakili Forum Anak DKI Jakarta mendapat undangan dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindunangan Anak untuk dimintai saran mengenai Modul Pencegahan Perkawinan Anak yang disusun dan telah di terapkan di Forum Anak Kab. Bogor oleh Ka rizky dan kawan-kawan. Kebetulan saya sudah mengenal Ka Rizky sekitar 1,5 tahun yg lalu saat saya dan orang-orang walikota Jakarta Barat mengunjungi beberapa wilayah di bogor untuk study banding mengenai kota layak anak disana. Ka Rizky merupakan alumni Forum anak bogor yang sekarang telah menjadi fasilitator anak.

Pada saat membahas tentang seksualitas dan gender  munculah isu LGBT, bahasan yang penuh dengan pro dan kontra. Salah seorang perwakilan dari Forum Anak Karawang memberi usulan untuk memperjelas "jika hanya ada 2 seksualitas yaitu laki laki dan perempuan, laki-laki harus suka perempuan dan perempuan harus menyukai laki laki". Mendengar usulan ini saya jadi teringat dengan komentar teman sama saya di postingan saya sebelumnya mengenai LGBT http://apreliaa.blogspot.co.id/2016/02/bukan-legalisasi-hanya-minta-jangan.html . Pernyataannya kurang lebih sama bahwa "hanya ada laki-laki dan perempuan", dan dia menambahkan bahwa "Tuhan tidak pernah menciptakan makhluk dengan orientasi seksual yang salah oleh sebab itu harus ditegaskan untuk hanya mengakui perempuan atau laki-laki dan tidak ada yang namanya LGBT"

Saya sempat mengobrol sedikit dengan Ka Rizky mengenai LGBT ini, dia menanyakan kepada saya "sejak kapan kamu menyukai laki-laki?" jawabannya tentu kapannya tidak jelas sebab perasaan suka itu muncul dengan sendirinya. Sama dengan kaum LGBT ini, Ka Rizky pernah menanyakan kepada mereka "kapan mereka mulai menyukai sesama jenisnya?" dan jawabannya sama tidak jelas waktunya, perasaan itu muncul dengan sendirinya. Dia berkata "untuk membahas mengenai LGBT ini memang diperlukan pikiran yang terbuka, karena ini memang bukan bahasan yang sederhana sebab perasaan suka itu muncul dengan sendirinya seperti manusia pada umumnya".

Jika kalian menggunakan perspektif agama dalam kasus LGBT maka "Tuhan hanya menciptakan 2 jenis manusia yaitu laki-laki dan perempuan, dan tidak semestinya LGBT itu diakui" jelas itu benar. Namun jika kita melihat dari perspektif yang lain kita juga tidak dapat menutup mata kalau di sekitar kita kenyataannya ada loh beberapa orang yang memiliki "rasa laki-laki dan perempuan sekaligus di dalam dirinya". LGBT itu tentu bukan kesalahan Tuhan dalam menciptakan manusia, LGBT hanya manusia biasa yang yang tumbuh dan berkembang dengan sosialisasi yang tidak semestinya.

Tulisan ini bukan menyatakan bahwa saya pro dengan LGBT, saya hanya secara objektif melihat kalau kenyataannya ada manusia yang memiliki kecenderungan seksual seperti itu dan itu tidak dapat dipungkiri menurut saya. Terserah kalian mau memakai perspektif yang mana, yang jelas mereka itu manusia juga yang lahir memiliki kehormatan dan tidak sepatutnya untuk direndahkan.





Jumat, 12 Februari 2016

Sore Hari di stasiun Tanah Abang


Sore itu menjelang magrib di Stasiun Tanah Abang ku lihat awan begitu pekatnya, ku pikir perang bangsa barata sedang berlangsung diatas sana. Perang itu memang maha dahsyat namun syarat dengan kesedihan yang tersirat. Beberapa saat kemudian hujan mulai turun, petir saling sambar bersahutan seperti sedang bercakap
"aku ini yang paling hebat"
"bukan kau, tapi aku"
"kalian tak ada apa apanya, aku yg paing berkuasa"
Ngiang-ngiang itulah yang kubayangkan. Diantara air-air yang jatuh ternyata ada setetes air mata batara surya, sebab hari itu ia gagal menjalankan tugasnya untuk menyinari. Lalu gelegar halilintar menunjukan bahwa kuasa Siwa sore itu sedang dipuncak, apapun bisa ia hancurkan termasuk kehidupan. Sore di stasiun Tanah Abang itu sangat mengerikan, bumi seolah sedang diobok-obok jemari Tuhan. Kehidupan seperti tak memiliki masa depan apalagi harapan. Namun aku heran di Stasiun Tanah Abang orang-orang masih saja sibuk melototi layar-layar eksistensi, mereka seperti terhipnotis mereka hidup namun tak sadar. Mereka tak melihat dan tak mendengar, padahal mereka tidak buta dan tidak tuli.

Kamis, 11 Februari 2016

Bukan Legalisasi Hanya Minta Jangan Diskriminasi


Tulisan ini merupakan tanggapan saya yang pertama kali mengenai LGBT. Tulisan ini dibuat karena saya mulai risih dengan media-media yang memojokkan kaum LGBT ditambah lagi dengan komentar masyarakat yang berlebihan menurut saya. Lalu kemarin juga muncul sebuah petisi online untuk menolak legalisasi LGBT di Indonesia. Memangnya sejak kapan kaum LGBT di Indonesia minta LGBT(pernikahan sejenis) dilegalkan, dan memangnya ada wacana dari pemerintah untuk melegalkan hal tersebut? Lalu untuk apa petisi "menolak legalisasi LGBT di Indonesia" itu dibuat, kok ya lucu sekali.

Setelah Amerika melegalkan pernikahan sejenis diikuti oleh beberapa negara di barat, respon masyarakat Indonesia seperti kebakaran jenggot mereka kawatir berlebihan. Saya pernah melihat wawancara dengan salah seorang transgender, ia mengatakan bahwa kaum LGBT di Indonesia tidak meminta LGBT ( pernikahan sejenis) dilegalkan mereka hanya meminta masyarakat tidak  mendiskriminasi kaum LGBT. Permintaan yang wajar dan manusiawi menurut saya, lagipula siapa yang mau lahir dengan orientasi seksual seperti itu? Saya rasa tidak ada.

Jika Amerika melegalkan pernikahan sejenis itu wajar sebab pertimbangannya adalah HAM. Namun di Indonesia yang berideologi Pancasila tentu hal itu bertentangan, maka selama Indonesia masih menggunakan Pancasila sebagai dasar negaranya masyarakat ndak perlu kawatir mengenai legalisasi itu sebab ya tidak akan dilegalkan. Dan hal itulah yang disadari kaum LGBT di Indonesia.

Saya tidak tahu-menahu soal LGBT itu adalah sebuah penyimpangan sosial atau penyakit, saya ndak punya kajian mengenai hal itu. Tapi yang jelas jika LGBT itu penyimpangan maka bantulah mereka untuk berada di jalan yang benar, dan kalau itu adalah sebuah penyakit maka bantulah mereka untuk sembuh. Dan hentikanlah cemooh kalian yang menghardik kaum LGBT sebab itu tidak akan membawa kebaikan apa-apa, cemooh kalian tidak akan membuat derajatmu tinggi dan derajatnya rendah dimata Tuhan. Comooh itu hanya menyulutkan api sesama saudara yang sama rupa, menyedihkan sekali.

Meminjam kata-kata dari Gus Dur "jika seseorang berbuat baik, maka mereka tidak akan bertanya agamanya apa" lalu saya plesetkan sedikit "jika seseorang berbuat baik, maka mereka tidak akan bertanya orientasi seksualnya apa". Sekian.

Senin, 08 Februari 2016

Antara Gafatar, Rakyat dan Tanah


Sebenarnya saya tidak terlalu paham masalah si Gafatar itu yang disebut-sebut sebagai aliran sesat. Saya juga sebenarnya ndak tertarik sama masalah aliran-aliran keagamaan seperti itu. Tapi ada satu hal yang menarik dari Gafatar bagi saya yaitu masalah tanah.

Saya terheran-heran ketika menyaksikan berita di tv mengenai masyarakat eks Gafatar yang menolak dipulangkan, dalam pemikiran saya yang sempit respon yang pertama kali muncul adalah "ya kok tolol sekali mereka itu padahal sudah jelas gafatar aliran sesat". Namun setelah saya membaca berita dari berbagi sumber saya menyimpulkan bahwa  masalah si Gafatar ini bukan soal aliran sesatnya tapi masalah tanah.

Gafatar memiliki tanah hibah 5.000 hektar di Pulau Kalimantan yang katanya akan dibangun kota mandiri. Tanah ini disebutkan merupakan hibah dari kepala suku di Pulau Kalimantan.
Lalu apa hubungannya dengan anggota eks gafatar yang tidak mau dipulangkan?
Kata salah seorang anggota eks Gafatar, harga tanah disana sangat murah dengan uang 7 juta sampai 14 juta mereka bisa mendapatkan tanah seluas satu hektar untuk dikelola. Mengetahui harga tanah yang sangat murah di sana para anggota Gafatar ini akhirnya menjual aset mereka untuk dijadikan modal untuk memulai kehidupan yang baru di Pulau Kalimantan. Oleh karena itu setelah Gafatar dinyatakan sebagai aliran sesat maka bingung lah mereka, sebab mereka sudah tak punya apa-apa lagi.

Gafatar, Rakyat dan Tanah
Sedikit cerita soal pengalaman yang saya dapat mengenai konfilik tanah antara petani dan perusahaan perkebunan di daerah Tasik. Di Desa Cieceng dulu masyarakatnya hidup miskin sebab mereka hanya bekerja menjadi  buruh tani di perusahaan perkebunan dengan upah yang tidak layak. Karena diketahui bahawa perusahaan perkebunan ini memiliki dasar hukum yang tidak sesuai (nyeleneh) akhirnya penduduk desa cieceng melakukan perlawanan untuk meminta (merebut) tanah dari perusahaan perkebunan itu. Dengan perlawanan sengit melawan polisi dan preman bersenjata suruhan perusahaan itu akhirnya warga Desa Cieceng menang. Salah seorang pejuang dari Desa Cieceng bernama Pak Tatang berkata "kami tidak butuh program pupuk murah, yang kami butuhkan adalah tanah untuk digarap. Kalau kami tidak punya tanah apa yang akan kami tanam dan apa yang akan kami pupuk?". Jika ditarik kesimpulan maka sebenarnya masyarakat butuh sekali tanah garapan dan orang-orang eks Gafatar itu sebenernya mah nggak peduli sama alirannya Gafatar, tujuan mereka yaitu untuk mendapatkan tanah garapan untuk memperbaiki kehidupan! Udah itu doang.

Terlepas dari aliran yang dibawa oleh Gafatar, harusnya program pemberian tanah garapan bagi penduduk ini didukung. Buatlah masyarakat sejahtera karena kerja kerasnya bukan dengan program "gratisan" yang menbuat rakyat bermental pengemis.

Tapi perlu diingat (pelajaran dari Desa Cieceng) mental masyarakat kita ini masih cemen, pemerintah cukup beri tanah garapan dan izin untuk usaha tapi jangan berikan sertifikat tanah sepenuhnya sebab resiko dijual-belikan atau digadaikan tinggi.

Yang terakhir, kalau pemerintah sungguh ingin meratakan pembangunan dan pemerataan jumlah penduduk di Indonesia harusnya program Transmigrasi seperti ini didukung penuh. Sebab pulau jawa ini rasanya sudah sangat sesak sekali.   

Saya jadi penasaran. Bagaimana nasipnya ya orang-orang eks gafatar yang dipulangkan namun tidak punya harta benda lagi? Apa iya jadi gembel? Mengapa tidak dibiarkan disana dan dibina saja? Setidaknya kemungkinanan sejahteranya lebih tinggi sedikit dibandingkan balik lagi ke pulau jawa yang kemungkinan jadi gembelnya nyata sekali. Apa pemerintah lebih rela 5.000 hektarnya dibiarkan atau diberikan ke perusahaan karenan pajaknya yang besar daripada digarap rakyatnya sendiri? Apa" aliran sesat" itu cuma konspirasi agar 5.000 hektar tanah itu tidak jatuh ke tangan rakyat? 
 
Cuma Tuhan yang Maha tahu


refrensi:
 




Sabtu, 06 Februari 2016

Mahasiswa Apatis VS Mahasiswa Kebelet Demo


Pertama-tama saya mau mengucapkan terima kash kepada Mas Aulia Rahman atas istilah "mahasiswa kebelet demo" saya suka sekali dengan istilah ini, kata-kata yang menggelitik namun rasanya seperti menampar. Tulisan ini dibuat karena kegabutan saya di pukul 2.35 dini hari. Ini sebenernya tulisan iseng, terserah mau dianggap serius atau sedikit serius tapi yang jelas tulisan ini ditunjukkan untuk kalian si agen perubahan. Tulisan ini didasari atas opini saya pribadi, tidak ada data kulitatif maupun kuantitatif maklum saya masih mahasiswa tingkat 1 yang ilmunya pun masih cetek. Jadi disini saya tidak bermaksud menggurui saya hanya ingin menyampaikan opini saya, hanya itu saja.

"Kok mereka mau ngorbanin waktu kuliah cuma buat aksi gak jelas begitu, mending belajar yang bener terus lulus IPK bagus dan ngebangun Indonesia" kata si mahasiswa apatis.
"Ngapain jadi mahasiswa kupu-kupu (kuliah-pulang) kita ini agen perubahan, Indonesia bisa lebih baik dengan aksi kita dengan suara kita" kata si mahasiswa kebelet demo.

Dua kubu ini saya rasa  ada di setiap kampus di Indonesia. Jangan tanyakan kepada saya mana kubu yang salah mana kubu yang benar, sebab saya ndak mau jawab. Perkara menilai baik-buruk benar-salah itu kan ranah Tuhan masa saya yang umatnya sok-sokan paling tau mana yang benar mana yang salah mana yang baik mana yang buruk ah tidak pantas sekali rasanya.

Sejarah Indonesia dan mahasiswa tentu tidak dapat dipisahkan, sudah jelas bahwa perubahan memang bersumber dari isi si gedung-gedung keilmuan itu. Jika mendengar cerita betapa gagah dan tangguhnya mahasiswa dalam perjuangan dulu wah tentu saja saya terkagum-kagum, pasti ada kebanggaan tersendiri menjadi bagian dari perjuangan sebuah bangsa. Tidak salah memang jika mahasiswa dijuluki agen perubahan, sebab saat semua rakyat ingin adanya perubahan mereka "nitip" ke mahasiswa, saat mahasiswa sudah bergerak terlebih dahulu maka baru seluruh rakyat ikut bergerak. Oke juga lah ya dalam konsep pemanfaatan nyali dan semangat anak muda yang masih menggebu-gebu.

Kembali ke masalah Mahasiswa Apatis VS Mahasiswa Kebelet Demo. Sebenarnya tidak ada yang salah dari kedua kubu itu, harusnya tidak ada yang saling singgung antara mereka. Tapi kenyataannya masih ada saja yang mempermasalahkan hal itu baik di lingkungan kampus maupun di sosial media. Berdasarkan ilmu sok tau saya, mereka si golongan apatis memilih fokus di studinya karena mereka beranggapan bahwa lewat suara dan pergerakan mahasiswa saja tidak akan mampu membawa perubahan yang berarti bagi Indonesia. Dan mereka si golongan kebelet demo beranggapan bahwa mahasiswa harus bersuara mahasiswa harus demo menyampaikan aspirasi dari seluruh rakyat, dan saya yakin sedikit atau banyak golongan ini pasti terinspirasi dari senior-seniornya yang telah sukses dalam urusan demo-mendemo.

Tapi harus kita ingat ini abad 21, tidak ada lagi penjajahan yang secara gamblang ditunjukkan terang-terangan. Uang berperan sangat kuat di negara yang hampir melarat. Mahasiswa harusnya bersatu jangan fokus di kelompok-kelompoknya, fokuslah di masalahnya. Si Apatis menjadi pengkaji, si kebelet demo menjadi pengorasi, beres kan?

Kawan-kawanku
negeri ini sekarat
Ibu pertiwi hanya bisa merintih dan berdoa.
Disaat gunung, sawah, dan lautan tak lagi menyimpan kekayaan.
Kesakitannya semakin perih
Ketika bayi tak mampu minum susu padahal negeri ini punya kolam susu
Ketika tetangga bilang kita punya tanah surga sebab tongkat kayu dan batu bisa jadi tanaman namun masih saja ada yang berhutang untuk mencari sesuap makan

Sejujurnya saya tidak ingin membahas si apatis maupun si kebelet demo, tidak penting buat saya. Lebih dari itu mahasiswa harusnya mampu bersatu, tinggalkanlah nama-nama kelompok kalian itu. Tak peduli asalmu dari HMI, LMND, GMNI, PMII, dll. Tak peduli kampusmu dari UI, UNPAD, IISIP, TRISAKTI dll. Tinggalkanlah almamatermu, tingglkanlah organisasimu. Ini waktumu berjuang, cukup gunakan almamater perjuanganmu yang terbuat dari semangat rakyat dan satu-satunya asalmu adalah dari nurani rakyat.

Mengapa demo mahasiswa belakangan ini dirasa sudah tidak ada pengaruhnya lagi? Saya hanya bisa menjawab  sebab mahasiswa lupa bersatu. Demo mahasiswa tetap ada namun hanya mengatasnamakan kampus tertentu atau organisasi tertentu. Perubahan tidak akan terjadi apabila kalian berjalan sendiri-sendiri, perubahan juga tidak akan terjadi jika kalian hanya mengandalkan beberapa orang di barisan depan. Tapi berjalanlah seiringan, kuatkan ikatan dan rangkulah semua golongan.

Sebenarnya saya punya usul tapi mungkin agak mengada-ada sih. Saya membayangkan jika mahasiswa mampu membuat gerakan serentak secara nasional. Misalnya saat indonesia dilanda kebakaran hutan, bisa saja setelah itu mahasiswa membuat gerakan "Indonesia menanam", atau gerakan "mahasiswa megajar", atau sekedar kerja bakti mahasiswa masal juga bisa. Ah pokoknya apa saja lah kegiatannya, yang penting digerakkan secara serentak. Sebab yg saya lihat mahasiswa hanya jago bersuara namun minim sekali aksi nyata.

Menurut saya harus ada sedikit konsep yang diperbaiki dari "agen perubahan" tersebut, kalau dulu mahasiswa hanya berorasi menuntut ini menuntut itu kepada pemerintah, sekarang coba buat konsep bagaimana mahasiswa bisa turun langsung ke masyarakat. Jadi fokus masalah yang ingin diatasi bukan bergantung pada pemerintah saja namun ada aksi nyata yang dirasakan secara langsung bagi masyarakat. Belajar menjadi mahasiwa mandiri atau belajar menjadi rakyat mandiri tanpa harus bergantung pada sebuah instansi. Pemerintahan di negeri ini sudah terlanjur bobrok percuma juga menggantungkan nasip kepada para perampok. Walaupun tidak ada bedil yang mengancam namun perjuangan ini saya akui memang berat. Tapi inilah yang namanya perjuangan, makin nikmat saat keringat dan matahari semakin menyengat.

Saya ini banyak omong sekali. Tapi sumpah hutang saya kepada negeri ini belum pernah saya bayar sepeserpun. Kalau saya hanya numpang hidup di sini sia-sia sekali hidup saya. Alam Indonesia budaya Indonesia adalah surga dunia buat saya. Mungkin saya agak lebay sih, ah tapi sungguh saya cinta sekali dengan negeri ini. Saya berharap bisa mati di tanah air ini, dan kalaupun nanti ada kehidupan yang lain saya ingin minta dilahirkan di sini.

Sekian tulisan dari saya, kalau tulisannya tidak enak dibaca saya mohon maaf sebab saya memang bukan penulis saya cuma lagi belajar nulis.