Rabu, 27 April 2016

Dilematis rokok


Selama dua tahun di Forum Anak Jakarta saya mengikuti banyak sekali kegiatan-kegitan sosial yang tentunya berhubungan dengan anak. Selama dua tahun itu saya bertemu banyak Aktivis atau setidaknya orang-orang yang peduli tentang dunia sosial. Saya melihat idealisme orang-orang itu, tentang memperjuangkan apa yang mereka yakini tepat untuk masyarakat. Salah satu hal yang mereka soroti adalah rokok, dan tulisan saya kali ini pun bahasannya tidak jauh dari rokok.

FCTC untuk Indonesia adalah salah satu gerakan sosial yang dibentuk utuk mendesak pemerintah agar menandatangani FCTC. FCTC adalah sebuah perjanjian mengenai kontrol tembakau yang dibuat oleh WHO. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat di http://www.fctcuntukindonesia.org . Sebenarnya ini menjadi dilematis bagi saya, antara harus mendukung agar pemerintah menandatangani FCTC atau justru menolak hal tersebut. Isi dari FCTC sendiri pun masih saya pelajari sampai saat ini sehingga saya tidak dapat membahas secara jauh tentang hal ini. Namun gejolak penolakan dari masyarakat ternyata cukup besar, mereka berpendapat apabila pemerintah menandatangani FCTC maka akan merugikan petani tembakau. Dan ada yang khawatir juga dengan nasib buruh-buruh pabrik rokok yang nasibnya terancam dengan adanya FCTC. Namun para aktivis berpendapat bahwa FCTC akan menyelamatkan generasi mendatang dari ancaman rokok. Bahaya dari paparan rokok tersebut yang mereka khawatirkan. Terutama masalah mengenai terus meningkatnya jumlah perokok anak dan semakin mudanya usia perokok.

Bagi orang-orang yang memiliki idealisme yang tinggi untuk memperjuangkan gerakan anti rokok ini tentu akan berapi-api untuk tegas menolak dengan segala macam alasannya. Namun bagi pemerintah untuk menandatangani suatu perjanjian yang menyangkut dengan perusahaan besar tentu bukan persoalan mudah. Dari kepentingan sosialnya, paparan rokok jelas sangat berbahaya ditambah lagi akses mendapatkan rokok yang sangat mudah dan murah sehingga tidak heran hal ini membuat angka perokok anak terus meningkat dari tahun ketahun. Walaupun sudah ada PP no 19 tahun 2003 tentang pengendalian tembakau namun ternyata peraturan tersebut belum cukup melindungi masyarakat dari ancama rokok, oleh karna itu muncullah desakan untuk menandatangani FCTC yang didalamnya mengatur lebih jelas perihal produk berbahan tembakau tersebut.

Mengapa pemerintah tidak mau menandatangani FCTC? Semua orang Indonesia pun tahu bahwa perusahaan rokok merupakan penyumbang pajak yang cukup besar bagi Indonesia. Selain itu industri  rokok juga merupakan industri yang menyerap tenaga kerja cukup banyak. Dan hal yang paling penting adalah kegiatan olah raga di Indonesia sebagian besar di sponsori oleh perusahaan rokok. Lantas bagaimana bisa pemerintah mempersulit perusahaan rokok yang begitu banyak telah membatu negara?

Jikalau pemerintah menandatangani FCTC maka petani tembakau akan dirugikan? Saya pernah membaca suatu artikel yang menyatakan bahwa rokok yang ada sekarang tembakaunya 70% di Impor dan hanya 30% yang merupakan tembakau lokal. Dan sepenglihatan saya dengan meningkatnya jumlah perokok petani tembakau pun hidupnya toh tetap tidak sejahtera. Mengaitkan kesejahteraan petani tembakau dengan FCTC adalah hal yang cukup aneh bagi otak saya, jika keadaan sekarang buruk bukankah seharusnya kita mengubah keadaan menjadi lebih baik? namun mengapa dengan keadaan yang sekarang sudah buruk mereka tetap ingin bertahan di keadaan itu dan mengkhawatirkan keadaan didepannya yang jauh lebih buruk lagi, apa harapan mengenai keadaan yang lebih baik sudah sangat rendah atau bahkan tidak ada sama sekali? Mengapa tetep jadi petani tembakau jika itu tidak menyejahterakan? sedang tanah kita subur dan mampu ditanami apapun.  Lalu jika dibilang industri rokok penyumbang pajak yang sangat besar coba ditelaah lagi, apa iya sebesar itu? Padahal sepertinya juga hasil pajak yang didapatkan negara dari industri rokok pun tidak sebanding dengan biaya kesehatan yang harus ditanggung masyarakat dan pemerintah bagi masyarakat yang sakit akibat rokok. Membiarkan industri rokok tumbuh subur seakan membiarkan rakyat mengkonsumsi racun yang mampu membunuhnya perlahan.

Bagi orang-orang yang sangat anti dengan rokok mungkin mereka akan menganalogikan industri rokok dengan api, bagaimana bisa ada asap kalau tidak ada api? Bagaimana bisa ada perokok kalau tidak ada industri rokok. Mereka yang secara garis keras menolak rokok biasanya akan mengatakan "kalau mau menghentikan bahaya rokok ya tutup saja pabriknya". Ah sejujurnya saya setuju dengan hal ini, tapi nampaknya masalahnya tidak sesederhana itu . Menutup pabrik rokok sama saja seperti mematikan sumber lapangan kerja. Apabila industri rokok di hentikan maka jumlah buruh yang sebegitu banyaknya mau dikemanakan? Sebagian menjawab "alihkan ke industri lain lah", industri yang mana? Apabila jumlah lapangan kerja kita banyak sih hal ini tidak jadi masalah, tapi kan keadaannya sekarang tidak seperti itu. Selain itu kegiatan olahraga kita pun sebagian besar disponsori oleh rokok, cukup ironis memang kegiatan yang meyehatkan disponsori oleh produk mematikan. Dunia pendidikan pun tidak lepas dari rokok, mereka merupakan pihak yang memberi beasiswa dengan konsisten bagi pelajar dan mahasiswa. Dan mungkin masih banyak hal lagi yang diberikan industri rokok itu bagi negara. Indonesia seakan-akan memiliki hutang budi dengan rokok, indonesia seakan bergantung dengan industi ini, indonesia seperti melakukan simbiosis mutualisme dengan industri rokok.

Menghentikan bahaya akibat dari rokok sebenarnya bukan dengan cara menutup pabrik rokok. Bahkan kebijakan-kebijakan yang mempersulit industri rokok pun tidak akan berhasil apabila rokok tetap menjadi kebutuhan masyarakat. Menyelamatkan generasi muda dari bahaya rokok sebenarnya susah dan sebebarnya gampang yaitu dengan kesadaran untuk tidak merokok. 
Sekian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar