Kamis, 29 September 2016

Cerita Hari Ini: Kuis


Hari ini saya lupa kalau ada kuis mata kuliah (matkul)  Metode Penelitian Sosial. Saya benar-benar tidak paham dengan matkul yang satu ini, terlalu ngejelimet. Selama empat minggu kuliah rasanya otak saya masih kosong melompong.

Ada dua pertanyaan yang harus saya jawab. Tapi saya sungguh tidak tahu apa-apa dan ternyata bukan hanya saya yang seperti ini. Hampir seluruh mahasiswa di kelas terbengong-bengong dengan kuis ini. Saya hanya bisa cengar-cengir di depan selembar kertas dengan dua pertanyaan itu.

Rasanya mentok sekali, entah apa yang harus saya perbuat. Saat saya tengok kanan, kiri, dan belakang ternyata mereka pada menyontek, hal yang biasa tentunya. Rasanya saya ingin ikutan, mungkin ini yang namanya godaan.

Sejenak berpikir, "nyontek? Nggak? Nyontek? Nggak? Nyontek? Nggak?................"
Tiba-tiba saya teringat lagu yang dinyanyikan teman saya (Gede) beberapa saat sebelum masuk kelas tadi. Kalau tidak salah lagu itu berjudul Hio, Iwan Fals penyanyinya. Kira-kira seperti ini sepenggal liriknya,

Aku mau jujur jujur saja
Bicara apa adanya
Aku tak mau mengingkari hati nurani

Lirik yang sederhana namun penuh makna.

Ketika saya masih duduk di bangku SD, guru saya selalu berkata "jangan menyontek, itu dosa!"
Tapi beranjak dewasa siapa yang masih peduli dengan kata-kata itu?
Mengapa untuk memperjelas suatu tindakan yang tidak baik, manusia menggunakan istilah "dosa"?
Tau apa manusia tentang dosa?
Bukankah dosa atau tidak suatu perbuatan itu hanya Tuhan yang tahu?
Manusia hanya pandai menerka-nerka, tapi berdosa atau tidak suatu perbuatan manusia bukankan itu urusan Tuhan? Saya terkadang berpikir  "manusia mungkin terlalu lancang".

Akhirnya setelah berpikir beberapa saat, saya memutuskan untuk tidak menyontek. Bukan karna takut dosa, tapi karna saya mau jujur jujur saja, bicara apa adanya, saya tak mau mengingkari hati nurani. #SepertiKataBangIwan

Hari ini saya tidak mendapatkan ilham dari Tuhan. Hari ini saya mendapat ilham dari Bang Iwan. Tapi tentu itupun atas restu Tuhan.

Saya ingin berterima kasih kepada Gede karna telah menyanyikan lagu itu. Lagu itu membuat saya semakin yakin, bahwa dalam jiwa dan hati nurani manusia pasti selalu ada nilai-nilai luhur Tuhan. Hanya perlu menggali lebih dalam untuk mendapatkan kemurniannya.

Seperti menggali sumur. Mula-mula kau menemukan lumpur. Semakin dalam kau gali, maka kau akan menemukan kejernihan, kemurnian dan kehidupan.
Sekian.




sumber gambar: Google.com

Selasa, 27 September 2016

Cinta dan Seksualitas

Beberapa hari lalu hujan deras mengguyur ibu kota, bahkan sampai merubuhkan sebuah jembatan di Pasar Minggu.Karena hujan yang tak kunjung reda, saya terjebak di Stasiun Palmerah selama kurang lebih satu jam.

Saat saya duduk sambil memandangi hujan, datang seorang wanita menghampiri saya. Kami tidak berkenalan nama, yang saya tahu dia berusia 42 tahun dan bekerja di bagian marketing. Obrolan kami diawali dengan basa basi seputar hujan dan jembatan yang rubuh, lalu merembet tentang kisah cinta. Iya, kisah cinta!

Tulisan kali ini akan membahas tentang cinta. Bukan cinta sederhana ala ABG tentunya. Bukan cinta sesederhana "aku cinta kamu & kamu cinta aku". Tapi kisah cinta yang penuh dengan............... (sepertinya saya agak kesulitan mencari kata-kata yang sesuai).

Wanita itu berusia 42 tahun, belum menikah karena terlalu asik dengan pekerjaannya.
"42 tahun?"
"Belum nikah?"
Saya tegaskan sekali lagi, Iya! Belum menikah!

Mungkin sebagian orang akan menganggap dia perawan tua. Tapi Jakarta kota besar, tidak ada usia yang terlalu tua untuk sebuah pernikahan, saya rasa begitu.

Dia pernah menjalin hubungan beberapa kali, namun gagal. Didua hubungan yang terakhir ini dia selalu mendapat pasangan yang kasar (bahasa halusnya: galak),  dan hal itu membuat dia ketakutan untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Ketakutannya untuk menikah sebenarnya bukan semata-mata karena takut memilih pasangan yang tidak sesuai, namun juga karena cerita dari teman-temannya yang gagal dalam mempertahankan rumah tangga.

"teman-teman saya banyak loh mbak yang sudah menikah namun masih punya pacar", tuturnya.
"oh ya? Yang seperti itu laki-laki?", tanya saya
"nggak, perempuan juga sama saja"

Saya kahabisan kata-kata, saya bingung. Ini hal yang baru bagi saya, diusia yang baru 19 tahun sebuah pernikahan rasanya masih teramat sangat jauh, apalagi membayangkan perselingkuhan dalam hubungan itu.

Saya bertanya, "kok bisa begitu ya, penyebabnya apa?"
"biasanya karna masalah seksual", jawabnya

"teman-teman saya bercerita, katanya setelah menjalin hubungan intim bertahun-tahun, hubungan itu terasa hambar dan tidak berkesan seperti diawal dulu. Itu yang memicu perselingkuhan. Kalo ditanya apakah masih ada perasaan cinta? Jawabannya tentu masih, atau bahkan masih sangat cinta. Tapi cinta tanpa hubungan seksual apakah mungkin? Mereka berselingkuh bukan karena tidak mencintai pasangannya, tapi karena kebutuhan seksualnya tidak dapat terpenuhi/terpuaskan" tambahnya.

Saya membaca sebuah artikel pagi ini, di dalamnya terdapat sebuah kalimat, "berhubungan seksual bagi orang dewasa sama seperti seorang bayi yang membutuhkan susu". Sepertinya kalimat itu ada hubungannya dengan obrolan saya dengan wanita itu.

Karena obrolan ini saya jadi ingin bertanya kepada banyak laki-laki,
Begini pertanyaannya :
saat hubungan seksualmu dengan pasanganmu mulai hambar, apa yang akan kamu lakukan?
a. "Jajan"
b. Berselingkuh dan tetap mempertahankan rumah tangga
c. Bercerai dan segera mencari pasangan baru

Mengapa saya tidak ingin menannyakan hal ini kepada perempuan? Jawabannya, karena perempuan terlalu naif untuk menjawab masalah seksualitas.
Sekian.


Note:

  • Percakapan ini kisah nyata, bukan karangan saya.
  • Sebenarnya percakapan ini masih panjang dan ada beberapa faktor lain juga, seperti masalah ekonomi dan jabatan wanita dalam pekerjaan yang memicu perselisihan antara hubungan laki-laki dan perempuan. Tapi saya hanya ingin memfokuskan di faktor ini karena cukup menarik menurut saya.
  • Sampai akhir tulisan ini selesai saya masih berpikir akan memposting di blog ini atau tidak. Saya pikir ini tulisan yang agak vulgar. Tapi akhirnya saya putuskan untuk tetap memostingnya!


    sumber gambar: google.com

Minggu, 18 September 2016

Hujan Hari Minggu




Hari ini suara hujan tak seperti biasanya, tidak berbunyi rintik. Hujan hari ini terlalu deras pikirku. Di sebuah pasar terlihat sekumpulan anak-anak. Mereka tertawa rinang, tanpa sandal dan membawa payung yang amat lebar. Orang-orang menyebutnya ojek payung. Tidak mahal, hanya 3000 sekali antar dari pasar menuju stasiun.

"Hari ini kita dapat uang jajan lebih" ucap salah seorang anak.
"Ah sepertinya tidak untukku" jawab yg lainnya.
"Payungku berlubang, lubangnya besar. Mereka bilang payungku bukan payung. Mereka menyebutnya barang rongsok" lanjutnya.



Anak itupun berdiam di pinggiran JPO (jembatan penyebrangan orang) tempat orang-orang keluar dari stasiun. Ia memandangi temannya yg bolak-balik menjajakan payungnya. Dalam diamnya Ia bertanya-tanya "mengapa orang dewasa menghindari hujan?"
"Mengapa orang dewasa takut dengan hujan?"
"Apa karna basah?"
"Apa karna dingin?"
"Tapi aku suka hujan. Kupikir semua anak-anak suka hujan. Dan orang-orang dewasa itu pasti dulu pernah suka dengan hujan. Tapi mengapa sekarang tidak?" pikirannya terus menerka-nerka.

"Aku sering melihat orang dewasa memandangi hujan, termasuk Ibu dan Bapakku . Saat hujan mereka duduk dengan secangkir minuman hangat dan memandangi tiap rintiknya. Ah tapi apa nikmatnya seperti itu. Bukankah lebih menyenangkan bermain bersamanya. Bermandikan di bawah rintiknya. Tapi mengapa mereka hanya memandanginya?"

"Apakah menjadi dewasa harus seperti itu? Terlalu banyak kekhawatiran, terlalu banyak ketakutan. Mereka terlihat seperti lupa carannya bersenang-senang."

Hujan semakin deras, dan pikiran anak itu semakin tidak waras.
Sekian.


sumber gambar: google.com

Minggu, 11 September 2016

Anak Kota


Anak kota tak mampu beli sepatu
Anak kota tak punya tanah lapang
Sepak bola menjadi barang yang mahal
Bagi mereka yang punya uang
Sementara kita disini, di jalan ini

Ini sepenggal lirik lagu Iwan Fals yang berjudul Mereka Ada di Jalan.


Lagu ini menginggatkan saya dengan sebuah lapangan yang pernah saya lewati.

Saya pengguna kendaraan umum. Setiap saya bepergian saya sering  memperhatikan apapun yang saya lewati. Salah satu yang merenggut perhatian saya adalah sebuh lapangan di daerah Roxy. Lapangan itu dibuat mirip seperti lapangan bola. Ada gawang dan sedikit rumput di tanah yang lembap. Lapangan itu tepat di pinggir sungai, tanpa ada batas. Jika air sungai meninggi maka lapanggan akan terendam. Dan apabila tidak berhati-hati saat bermain, maka akan tercebur.

Ternyata lirik "anak kota tak punya tanah lapang" benar adanya. Saya pun merasakan hal itu. Saat ini sulit sekali mencari tanah lapang untuk bermain. Saya pernah melihat di televisi, ada sekelompok anak-anak yang bermain bola di pinggir rel bahkan di tempat pemakaman umum (TPU).  Bukan tempat yang layak tentunya untuk bermain.

Beberapa hari belakangan ini Jakarta sering diguyur hujan. Menyebabkan genangan di beberapa titik, bahkan banjir di kawasan elit. Saat itu saya pulang dari kampus, sekitar pukul 2 siang. Dari stasiun tanah abang menuju stasiun palmerah, tepat di tempat bekas penggusuran (pernah saya ceritakan dipostingan sebelumnya), ada hal yang tidak biasa. Ada sebuah genangan air yang tidak terlalu luas, sekitar 10 meter dan kedalamannya tidak lebih dari 50 cm. Beberapa anak bermain disana. Sebagian berpakaian lengkap, sebagiannya lagi hanya mengguakan celana dalam. Ada yang hanya bermain ciprat-cipratan, ada pula yang bergaya seperti sedang berenang di kolam sungguhan.

Saya senang melihat canda tawa mereka. Mereka terlihat sangat bahagia walupun tempat itu bukan tempat yang pantas untuk bermain. Mereka tidak jijik dengan air yang kotor. Mereka tidak takut dilihat oleh banyak orang. Mereka bersenang-senang sewajarnya anak seusia mereka. Sayangnya saya tidak sempat memfoto moment itu karena saya di dalam kereta. Pemandangan seperti itu yang terkadang menghilangkan lelah saya. Lelah karena rutinitas dan lelah karena jalanan Ibu Kota kita. 

Mungkin mereka selalu berandai-andai, bisa bermain bola di tanah yang luas dengan rumput yang hijau. Berandai-andai, bisa berenang di kolam yang airnya biru. Dan saya juga selalu bertanya-tanya, "bisakan anak-cucu saya merasakan itu kelak?"
Sekian.

sumber foto: 

Minggu, 04 September 2016

Digusurnya merah putih


Bebrapa hari lalu terjadi penggusuran di Rawajati, di depan apartemen Kalibata atau tepatnya di pinggir rel kereta api. Seperti biasa, saat menjelang penggusuran terjadi aksi heroid dari para warga. Seperti gambar seorang ibu yang menghadang puluhan-ratusan satpol pp. Ia membentangkan tanggannya sambil memengang tongkat kayu yang diikatkan bendera merah putih. Foto itu menjadi viral di dunia maya. foto itu menggundang banyak komentar,yang rata-rata berisi kemarahan dan kekecewaan atas penggusuran tersebut.

Penggusuran Rawajati itu menggingatkan saya dengan penggusuran di sekitar stasiun Tanah Abang beberapa bulan yang lalu. Semenjak kuliah di IISIP Jakarta saya naik KRL hampir setiap hari.  Sepanjang Stasiun Palmerah menuju Stasiun Tanah Abang, ada sebuah pemandangan yang selalu mencuri perhatian saya. Sepanjang rel terdapat banyak rumah-rumah semi permanen  (kasarnya, bangunan kumuh). Yang mencuri perhatian saya adalah banyaknya bendera merah putih yang mereka kibarkan di sepanjang rel itu. Padahal saat itu masih jauh dari peringatan 17 Agustus, bahkan tidak ada momentum spesial apa-apa.

Apakah itu bukti kecintaan mereka dengan negaranya?
Negara yang tidak menyediakan rumah yang layak bagi mereka?

Pemandangan yang tidak biasa. Pemandangan itu membuat saya terharu. Membuat saya berpikir "iya, bangsa ini tidak pernah bersalah". Membuat pertanyaan pamrih "apa yang negara berikan untuk saya", hilang dengan sekejapnya.

Pemandangan itu pun  sekarang sudah hilang akibat penggusuran. Tidak ada lagi merah putih yang berkibar sepanjang rel itu.  Saya kehilangan sesuatu yang "magis" di sepanjang rel itu. Semua kini terlihat rapi dan bersih. Semua saat ini terlihat biasa.
Sekian.