Ini adalah tulisan
dari Agus Purwanto D.Sc seorang Fisikawan teoritik, pencinta dan pengkaji
Al-Quran dalam sebuah pengantar "Al-Alim
Al Quran dan Terjemahannya Edisi Ilmu Pengetahun". Ini hanya
sebagian kecil dari seluruh tulisannya di dalam pengantar, tapi saya rasa ini
dapat menggambarkan keadaan umat muslim saat ini dari segi intelektualitas yang
dimiliki. Saya menuliskan ulang karna saya rasa tulisan ini cukup menarik dan
bagus untuk introspeksi diri sebagai umat islam.
Kejayaan umat islam
sekarang tinggal kenangan karena negri-negri muslim umumnya masih terbelakang,
bodoh, dan miskin. Akhir abad 14 Hijriah, dunia islam sempat mengaungkan abad
15 hijriah sebagai abad kebangkitan muslim. Gaung kebangkitan ini terus terdengar
sampai hampir dua dasawarsa awal abad ke 15. Di kota-kota besar di Indonesia
diselenggarakan berbagai kegiatan seperti festival seni muslim. Kisah kehebatan
para sarjana muslim generasi awal juga mendominasi panggung cerita untuk
menumbuhkan motivasi umat. Tetapi sayang cerita-cerita kehebatan para ilmuan
muslim masa lalu tersebut seperti tidak berdampak sedikitpun dan seolah menjadi
cerita pengantar tidur, bahkan sampai saat ini. Artinya umat islam tetap
tertidur dan terbelakang setelah berulang-ulang mendengar cerita tersebut.
Alih-alih umat berubah sikap dan melangkah maju, yang terjadi malah
kecenderungan sebaliknya. Kisah dan tayang irasional serta mengingkari akal
sehat di media cetak dan elektronik justru digadrungi masyarakat.
Diskusi dan seminar
yang membahas masalah keterbelakangan umat islam pun telah banyak dilakukan.
Bila dicermati dengan saksama, tema, isi dan kesimpulan seminar atau konferensi
seolah-olah membenarkan pernyataan yang bernada menggugat dari Syaikh Jauhari
Thanthawi, guru besar Universitas Kairo. Di dalam tafsirnya
"Al-Jawahir", Syaikh Thanthawi menuliskan bahwa di dalam kitab suci
Al-Quran terdapat lebih dari 750 ayat kuniyah, ayat tentang alam semesta, dan
hanya sekitar 150 ayat fiqih. Anehnya para ulama terus menulis ribuan kitab
fiqih, tetapi nyaris tidak memperhatikan serta menulis kitab tentang alam raya
dan isinya.
Umat dan para ulama
banyak menghabiskan waktu, pikiran, tenaga, dan dana untuk membahas persoalan
fiqih, dan sering berseteru serta bertengkar karenanya. Mereka lalai atas
fenomena terbitnya matahari, beredarnya bulan, dan kelap-kelipnya bintang.
Mereka abaikan gerak awan di langit, kilat yang menyambar, listrik yang
membakar, malam yang gelap gulita, dan mutiara yang gemerlap. Mereka juga tak
tertarik pada aneka tumbuhan di sekitarnya, binatang ternak maupun binatang
buas yang bertebaran di muka bumi, dan aneka fenomena serta kejadian alam
lainnya.
Selain disibukkan
dengan urusan fiqih, pengalaman dan pengamalan keagamaan kita memang cenderung
esoteris dan mengabaikan serta meremehkan akal. Padahal secara empirik akal
sangat powerful. Al-Quran sendiri tidak kurang dari 43 kali menggunakan kata
akal dalam bentuk verbal seperti
afalā ta’qilūn,
"apakah engkau tak berpikir". Sepuluh ayat lainnya menggunakan kata
verbal pikir, seperti
la’allakum
tafakkarūn, "agar engkau memikirkannya". Teguran agar manusia
menggunakan akalnya seoptimal mungkin.
Kelalaian dan
pengabaian pada sains di dunia islam terjadi secara luas dan meliputi semua
lapisan umat termasuk juga para elitnya. Syair-syair dan maknannya semisal
al-fiqhu anfusu syai'in ("Fiqih adalah segala-galannya atau fiqih adlah
ilmu yang paling berharga"); iżā mā
tazza żu ‘ilmin bi fa ‘ilmul fiqhi aula bi’tizāzin ("bila orang berilmu
mulia lantaran ilmunya, maka ilmu fiqih membuatnya lebih mulia"), masih
sangat dominan di masyarakat kita.
Meski hanya
berjumlah seperlima dari ayat kauniyah, ayat hukum telah menyedot hampir semua
energi ulama dan umat islam. Sebaliknya, ayat-ayat kauniyah meskipun berjumlah
sangat banyak tetapi terabaikan. Sains sebagai perwujudan normatif dari
ayat-ayat kauniyah seolah-olah tidak terkait dan tidak mengantar orang islam ke
surga atau neraka sehingga tidak pernah dibahas, baik di wilayah keilmuan maupun
pengajian-pengajian.