Minggu, 08 Januari 2017

Refleksi Sejarah Tuhan


Tulisan ini adalah sebuah rangkuman dari pendahuluan buku Sejarah Tuhan karya Karen Armstrong. Saya rasa kandungan didalamnya sangat menggugah rasa ingin tau. Tulisan ini bisa dijadika lefleksi bagi kita, bagaimana kita memandang Tuhan. Berikut isinya.

Ketika sebuah konsepsi tentang Tuhan tidak mempunyai makna atau relevansi, ia aka diam-diam ditinggalkan dan digantikan oleh sebuah teologi baru. Ateisme sering merupakan keadaan transisi, oleh sebab itu umat Yahudi, Kristen dan Muslim disebut "ateis" oleh kaum pagan di masanya, karena telah mengadopsi gagasan revolusioner tentang  keilahian dan transendensi.

Apakah ateisme modern merupakan penolakan serupa terhadap "Tuhan" yang tidak lagi memadai bagi persoalan di zaman kita?

Kita akan menyaksikan bahwa sebuah ide tentang  Tuhan tidak harus bersifat logis atau ilmiah, yang terpenting adalah bisa diterima. Ketika ide itu sudah tidak efektif lagi ia akan diganti, terkadang dengan ide lain yang berbeda secara radikal.

Akan tetapi semua agama besar sepakat bahwa mustahil untuk menggambarkan transendensi ini dalam konsep biasa. Kaum monoteis menyebut transendensi ini "Tuhan", namun mereka membatasinya dengan syarat-syarat tertentu. Yahudi misalnya, dilarang mengucapkan nama Tuhan yang sakral. Sedangkan Islam, tidak dikenankan melukis Tuhan secara visual. Disiplin macam ini merupakan pengingat bahwa apa yang disebut "Tuhan" berada di luar ekspresi manusia.

Di tengah kecenderungan sekuler di kalangan masyarakat barat, ide tentang Tuhan masih mempengaruhi kehidupan jutaan orang. Tapi pertanyaannya  adalah "Tuhan" menurut konsep mana yang mereka anut?

Tuhan orang Yahudi, Kiristen, dan Islam adalah Tuhan yang dalam beberapa pengertian dapat berkata-kata (berfirman). Firmannya sangat krusial bagi ketiga agam tersebut. Firman Tuhan telah membentuk kebudayaan kita. Kita harus memutuskan apakah kata "Tuhan" masih tetap memiliki makna bagi kita pada masa sekarang ini? 


Sekian. 

Sumber: Armstrong, Karen. 2015. Sejarah Tuhan. Bandung: Mizan

Sabtu, 07 Januari 2017

Perempuan-Perempuan Tak Berwajah, The End of Manners


Buku yang ditulis oleh Francesca Marciano ini bercerita tentang perjalanan Maria Galante dan Imo Glass untuk meliput gadis-gadis Afghanistan yang berusaha bunuh diri untuk menghindari perkawinan paksa.

Sebuah bagian menarik dari obrolan Imo dengan seorang relawan berdarah Afghanistan bernama Roshana. Imo Glass memiliki kesimpulan awal bahwa tingkat bunuh diri akibat kawin paksa yang terjadi kepada  wanita-wanita Afghanistan adalah akibat dari mulai meleknya mereka akan akses informasi, mereka sadar akan keadaannya dan lebih memilih bunuh diri. Namun hal itu dibantah oleh Roshana.

Roshana mengelak, dia mengatakan "saya tidak tahu apakah ada hubungan itu.  Saya pernah membaca mengenai hal itu, tetapi saya pikir itu Cuma salah satu cerita yang dicari-cari oleh para jurnalis. Di desa-desa di pedalama Afghanistan tidak ada yang benar-benar berubah. Kaum wanita dijual sebagai budak oleh keluarga mereka dan itu telah berlangsung sejak dulu"

Dia mengakui memang benar bahwa kasus bunuh diri angkanya semakin beratambah. Namun ia berpendapat bahwa itu mungkin disebabkan karena kini alat komunikasi lebih berkerbang dibanding sebelumnya. Itu sebabnya kini kita dapat mendengar hal tersebut, sedangkan dulu kita bahkan tidak pernah mendengar tentang hal itu.

Kalimat getir terucap dari bibir salah seorang wanita desa yang diwawancarai Imo, "menurut islam kau hanya harus patuh dengan ayahmu kemudian suamimu. Inilah aturannya, tradisinya". Tampak tidak ada jalan keluar dalam hal ini, yang ada hanya aturan dan tradisi. Lalu mengapa sebagian dari mereka memilih bunuh diri? Apa mereka tidak ingin mengikuti aturan? Tradisi?

Pilihan apa yang dimiliki wanita ketika ia dibesarkan dengan kepercayaan bahwa menampilkan lekuk tubuh adalah sebuah kejahatan? Wanita dengan orang tua, komunitas, dan guru guru yang menanamkan ide dalam pikirannya bahwa tubuh adalah sepotong daging yang dapat mengundang syahwat?

Sebenarnya saya kurang enjoy membaca buku ini, karena isi di dalamnya di luar dari ekspektasi. Saya pikir akan banyak mengisahkan tentang  wanita-wanita Afghanistan yang nyaris bunuh diri itu, namun ternyata lebih banyak mengisahkan tentang perjalanan seorang jurnalis untuk membuat tulisan. Mungkin yang tertarik dengan dunia jurnalistik akan lebih cocok membaca buku ini dari pada saya.


Sekian.